Ahad, 20 Januari 2013

Filsafat Dayak

Tiar Angkal FC
Mengenal Suku Dayak Secara Umum
Beberapa pakar berpendapat bahwa untuk mengetahui asal usul suatu suku bangsa yang perlu diteliti adalah keanekaragaman bahasa yang ada di wilayah tersebut. Hasil penelitian terhadap suku dan bahasa Dayak di Kalimantan Barat menunjukan bahwa ternyata subsuku dan bahasa Dayak di Kalimatan Barat mempunyai tingkat keanekaragaman yang tinggi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pulau Kalimantan adalah tanah asal usul orang Dayak dan Melayu yang berketurunan Dayak karena mengubah identitasnya pada sekitar tahun 1800-an karena berganti agama. Berdasarkan teori di atas maka dapat dipastikan bahwa Pulau Kalimantan adalah tanah asal usul suku (orang) Dayak.
Beberapa teori terdahulu menyatakan bahwa penduduk Pulau Kalimantan berasal dari migrasi suku bangsa Austronesia. Ada dua teori yang menjelaskan proses perpindahan suku bangsa tersebut. Teori pertama berasal dari P dan F Sarasin (1892-1893), yang kemudian didukung oleh Heine-Geldern (1932). Proses perpindahan suku bangsa Austronesia tersebut adalah sebagai berikut:
Suku-suku asli di rantau ini kononnya orang Vedda. Mereka didesak oleh pendatang baru dari Benua Asia lebih kurang 5000 tahun yang lalu. Pendatang ini berhijrah ke pesisir Asia Tenggara, termasuk perpulauannya dan memencilkan suku asli tersebut. Penghijraan itu dinamakan Melayu Proto. Sesudah 3000 tahun, mereka pula yang didesak dengan gelombang penghijraan yang baru yang dinamakan Melayu Deutro. Karena kedua-dua kelompok, Proto dan Deutro ini, berasal dari daerah dan sumber budaya dan bangsa yang sama maka mereka bergaul dan berpadu, kecuali di beberapa daerah pedalaman yang hingga kini masih memperlihatkan kebudayaan Melayu Proto.
Ahli lainnya seperti Henrik Kern (1889) menyatakan bahwa rumpun Austronesia berasal dari Cina Selatan atau bagian utara Vietnam berpindah ke arah selatan menuju Asia Tenggara melalui beberapa buah sungai yang mengalir di tempat itu.
Sewaktu orang-orang Austronesia masuk pulau Kalimantan, mereka mendapati pulau ini masih berbentuk hutan belantara. Kemudian mereka hidup di dalam belantara ini, bergaul dengan alam dan menyatu dengan alam, hutan, sungai dan terbiasa dengan kekuatan-kekuatan alam. Dapat dimengerti apabila alam sangat berpengaruh dan paling banyak menentukan perkembangan budaya dan peradaban yang mereka miliki.
Berdasarkan kutipan J.U Lontaan dari tulisan Ch.F.H.Duman (1924) dikatakan, bahwa suku Dayaklah penduduk asli pulau Kalimantan. Mula-mula mereka menduduki (mendiami) tepi sungai Kapuas dan laut Kalimantan, tetapi datangnya Melayu dari Sumatera dan dari tanah Semenanjung Malaka, terpaksa terdesaklah mereka ke hulu sungai.
Sebelum kedatangan orang-orang Austronesia di Nusantara termasuk di pulau Kalimantan, pulau Kalimantan sudah dihuni oleh sekolompok suku bangsa yang belum diketahui identitasnya. King mengungkapkan ”We have Evidence of human habitation in Borneo going back at least 35.000 to 4000 years, the Austronesia speaking ancestors of today’s native population of the island only began to seatle there quite recently, probably 4500 years ago.”
Bukti-bukti arkeologi terkini yang ditemukan di Sabah dan Sarawak Malaysia, dapat dijadikan patokan untuk melihat keadaan pulau Kalimantan pada masa purba. Misalnya penemuan fosil tengkorak yang dianggap sebagai manusia modern (homo sapiens) oleh Tom Harrison di Gua Niah Gunung Subis dekat Miri, Serawak. Umur tengkorak ini diperkirakan mempunyai rentang waktu antara 38.000 sampai 40.000 tahun.
Berbagai teori yang dikemukan di atas, mengokohkan kayakinan bahwa suku Dayak memang telah menjadi penghuni pulau Kalimantan sejak zaman permulaan, hal ini sejalan dengan cerita-cerita rakyat yang dituturkan secara lisan tentang asal usul suku Dayak.
Filosofi Dayak
Filosofi Dayak yang sangat terkenal terkandung dalam salam Dayak atau kata pembukaan yang dirumuskan sejak beberapa puluh tahun yang lalu berbunyi: “Adil Ka’ Talino Ba Curamin Ka’ Saruga Ba Sengat Ka’ Jubata”. Filosofi ini akan kami uraikan secara sistematis untuk mengetahui Filsafat Dayak secara menyeluruh. Berikut ini penjelasan dari makana darai filisofi Dayak tersebut.
1. Adil Ka’ Talino, adalah kata yang mempunyai makna bahwa manusia Dayak itu harus hidup adil kepada sesama manusia. Cinta damai dan keadilan ini tertanam pada masyarakat Dayak dalam kehidupan didunia ini untuk mencapai kehidupan yang sempurna selama hidup. Kehidupan manusia Dayak tidak terlepas dari golongan yang satu dengan golongan yang lain, oleh sebab itu keadilan harus bisa dilestaraikan dan dijaga dalam setiap manusia Dayak.
2. Bacuramin Ka’ Saruga, adalah istilah yang digunakan masyarakat Dayak untuk menujuk kesempurnaan hidup manusia. Kata ini mempunyai makna bahwa manusia Dayak harus hidup berpadanan dengan kehidupan yang diatas atau hidup yang sempurna atau tertinggi yang sebagi contoh hidup manusia Dayak.
3. Ba Sengata Ka’ Jubata, adalah hidup manusia Dayak didasarkat atas Yang Ilahi atau Realitas Mutlak yang dipercayai oleh manusia Dayak yang disebut Jubata. Masyarakat Dayak meyakini bahwa Jubata yang memebrikan kehidupan dan kelimpahan dalam setiap aspek kehidupan masyarakat Dayak. Berikut ini kami akan menguraikan secara singat mengenai istilah Jubatayang didalamnya: Atribut Absolut Jubata, dan Atribut Relatif Jubata.
Atribut Absolut Jubata
Pada bagian ini penulis akan mengikuti pola uraian sistematis dalam teologi Kristen mengenai atribut Allah, dalam upaya menjelaskan keyakinan kepada Jubata, hal ini dimaksud agar mempermudah pemahaman terhadap eksistensi dan atribut Jubata. Meskipun penulis menyadari bahwa uraian mengenai topik ini tidak mungkin sedetail sebagaimana yang terdapat uraian teologi Kristen tentang atribut Allah. Hal tersebut disebabkan sumber tertulis yang masih sangat minim dan sumber lisan yang sudah mualai langka karena termakan usia.
Jubata sebagai yang Mutlak
Istilah yang Mutlak (absolute) merupakan istilah filosofis, Loren Bagus, mendefinisikannya sebagai berikut:
1. Realitas dasar, Dasar Dunia, atau prinsip kosmis yang merupakan asal-usul eksistensi dan semua kegiatannya, kesatuan dan keberagamannya.
2. Yang ada yang tidak menggantungkan keberadaan dan kegiatannya pada suatu yang lain, sebaliknya, segala sesuatu yang lainnya menggantungkan keberadaan dan kegiatannya, pada Yang-ada ini. dan segala sesuatu lainnya akhirnya dapat dikembalikan pada Yang-ada ini.
3. Keseluruhan organis dan pemikiran yang ada dalam proses aktualisasi dan pemenuhan semua eksistensi yang sementara dan terbatas.
4. Realitas (Yang-ada, substansi) sebagaimana ada dalam dirinya sendiri, yang berlawanan dengan segi yang tampak realitas itu.
5. Realitas yang memuat segala sesuatu yang terbatas.
6. yang kekal, tidak terbatas, tidak bersyarat, sempurna dan tidak berubah. Subjek ini tidak bergantung pada yang lain. Didalam dirinya terkandung segala sesuatu yang berada dan menciptakan segala sesuatu yang ada. Dalam agama sang absolute adalah Tuhan (Allah). Dalam Fitche sang absolute adalah EGO. Dalam Hegel, sang absolut adalah rasio dunia (roh mutlak). Dalam Schopenhauer, sang absolute adalah kehendak. Dalam Bergson, sang absolute adalah intuisi.
Berdasarkan definisi di atas maka yang mutlak adalah adalah sesuatu yang ada dengan sendirinya sebagaimana ia harus ada. Keberadaan-Nya tidak bergantung kebaradaan lain.
Jubata diyakini oleh masyarakat Dayak Kanayatn sebagai sesuatu yang ada dengan sendirinya. Nenek moyang masyarakat Dayak Kanayatn tidak berupaya mengungkapkan keberadaan Jubata atau tidak bertanya mengenai keberadaan Jubata melainkan mendorong pemujaan terhadap Jubata kepada setiap generasi, Sebagai yang absolut Jubata adalah Roh, sebagai Roh, Jubata berpribadi. Keyakinan Jubata sebagai Roh ditegaskan oleh empat orang panyangahatn dalam wawancara dengan penulis, pada saat mencari data untuk penelitian ini, ketika ditanya apakah Jubata bisa dilihat oleh mata kita?, semua panyangahatn menjawab bahwa Jubata tidak dapat dilihat. Ahidin seorang narasumber yang diwawancarai Hermanus, terkait dengan pegertian Jubata adalah Roh, mengatakan bahwa, “Jubata adalah suatu roh yang tidak memiliki tubuh dan daging. Sehingga tak seorangpun tahu mengenai rupa Jubata, karena Jubata tidak dapat dilihat.oleh mata manusia. Dalam bamang yang disampaikan panyangahatn dalam setiap ritus agama suku, selalu disebut “pama Jubata”, konsep masyarakat Kanayatn tentang pama pada umumnya mengacu kepada “roh suci/tinggi” baik untuk Jubata maupun pama nenek moyang yang dianggap suci atau luhur, karena kesaktian atau kakayaan yang mereka miliki. Demikian juga ungkapan Jubata bulatn, bintakng, kayu aya’, kayu enek,.. sebagaimana yang telah dikutip terdahulu, hal tersebut menurut Evigo sebagaimana dikutip dari beberapa sumber, bukan berarti Jubata itu banyak (jamak) tetapi artinya ia berada dimana-mana atau dapat dijumpai diberbagai tempat. Kita dapat salah paham karena keterbatasan bahasa dan pengungkapannya. Konsep ini meneguhkan pendapat bahwa Jubata itu roh, oleh karena Jubata itu roh maka Ia tidak dapat dibatasi oleh ruang dan waktu. Sebab hanya roh Allahlah yang dapat hadir bersamaan pada saat yang sama dan di tempat yang berbeda. Penjelasan mengenai presensi Jubata yang tanpa dibatasi ruang dan waktu sebagaimana tercermin dalam beberapa pendapat di atas menunjukkan bahwa masyarakat Dayak Kanayatn percaya bahwa Jubata itu roh adanya.
Konsep bahwa Jubata adalah roh seharusnya berimplikasi kepada doktrin tentang ketidakterbatasan Jubata. Tetapi dalam kepercayaan kepada Jubata, pengajaran tesebut tidak mendapat perhatian oleh karena konsep masyarakat suku ini masih sangat sederhana, sehingga sangat relevan menggali informasi dari masyarakat untuk mengetahui pemahaman masyarakat tentang ketidakterbatasan Jubata.
Disini akan diberikan ilustrasi mengenai ketidakterbatasan Jubata dalam hal mengetahui. Masyarakat Dayak Kanayatn biasanya memiliki pohon buah-buahan yang ditanam di area kebun atau di lokasi bekas perkampungan (timawakng) yang sudah ditinggalkan berpuluh-puluh tahun. Biasanya tempat seperti itu sangat jauh dari rumah sehingga sulit untuk mengontrol atau mengawasi area tersebut. Ada suatu mekanisme pengawasan sebagai cara antisipasi, agar buah-buahan di kebun tersebut tidak diambil orang lain yaitu dengan cara membuat kulikng dan tikal pada pohon. Pada zaman dahulu orang tidak berani coba-coba untuk mengambil, karena mereka memiliki keyakinan bahwa Jubata tahu jika mereka mengambil apa yang bukan merupakan milik mereka. Sebenarnya ilustrasi ini merupakan suatu bukti bahwa Masyarakat Dayak Kanayatn memiliki konsep ketidakterbatasan Allah dalam hal mengetahui atau doktrin tentang kemahatahuan Jubata. Selain itu tentu Jubata itu tidak terbatas dalam kuasa-Nya. Kemahakuasaan Jubata sebenarnya dapat dijumpai dalam keyakinan masyarakat Dayak Kanayatn pada kisah penciptaan, serta ketujuh sifat Jubata yang sisebut sebagai Ne’ Panampa, Pajaji dan sebagainya sebagaimana telah diuraikan terdahulu.
Masyarakat Dayak Kanayatn juga yakin jika Jubata memiliki personalitas (berkeperibadian). Unsur-unsur personalitas Jubata dapat dilihat dalam ungkapan antropamorfis terhadap sifat Jubata, seperti, Jubata Ne’ Pangorok, dan Jubata Ne’ Pangingu. Kedua sifat ini sebagaimana juga sudah disinggung pada penjelasan terdahulu menunjukkan bahwa Jubata memiliki personalitas. Selain itu banyak sekali legenda dan cerita-cerita rakyat yang mengisahkan keterlibatan Jubata dalam menangani masalah manusia atau menguji ketulusan manusia. Bating mengisahkan:
Pada suatu hari di sebuah perkampungan rumah panjang masyarakat Dayak, terlihatlah seseorang yang sedang berjalan dari ujung sebelah timur kampung menuju ka arah rumah panjang tempat tinggal mereka. Ketika semakin dekat, maka tampaklah penampilan yang kurang menarik dari orang tersebut, ternyata orang tersebut hendak bertamu, dan ia mulai menaiki tangga rumah panjang kemudian menyapa para penghuni rumah panjang, yang pada saat itu kebanyakan wanita dan anak-anak yang sedang menjemur padi, karena penampilan yang tidak meyakinkan tamu itu, maka tamu tersebut tidak telalu dipedulikan. Setelah cukup lama, sang tamu berpamitan, berjalan menuruni tangga, lalu ketika sampai ke ujung kampung sebelah Barat beberapa anak melihat bahwa orang tersebut ternyata menghilang, dan memberitahukan kepada orang tua mereka, tetapi mereka tidak percaya, mereka bepikir bahwa tamu tersebut menghilang ditikungan jalan, sehingga tidak terlihat lagi. Beberapa malam malam kemudian ada yang bermimpi bahwa ternyata tamu tersebut adalah Jubata yang hendak memberkati padi mereka, tetapi karena mereka kurang peduli, maka pada tahun itu mereka medapat hasil padi yang tidak memuaskan…”
Makna yang terkandung dalam kisah tesebut sesungguhnya hendak menegaskan bahwa Jubata memiliki personalitas. Personalitas Jubata dalam kisah ini ditunjukan dengan menguji hati, apakah terdapat ketulusan pada manusia dalam menjalani dan memperlakukan orang lain, yang dalam hal ini mumngkin adalah orang asing. Bukankah Alkitab juga memiliki narasi yang sama, Ketika Abraham menjamu dua orang tamunya tetapi ternyata tamu tersebut bukanlah manusia biasa, tetapi mereka adalah utusan Allah. Dalam kisah Abraham hospitalitas manusia terhadap orang asing mendapat nilai positif. Oleh karena itu penulis menyimpulkan bahwa Jubata adalah realitas mutlak, makhluk rohaniah yang memiliki personalitas.
Keesaan Jubata
Perbincangan mengenai doktrin keesaan Jubata, sebenarnya hampir kurang relevan di kalangan suku Dayak Kanayatn. Ketidakrelevanannya berhubungan dengan sistim religi yang pragmatis-fungsional, karena masyarakat Dayak Kanayatn tidak terlalu mempermasalahkan apakah Jubata itu tunggal atau jamak, yang utama adalah ritus pemujaan kepada Jubata mendatangkan berkat, perlindungan dan nasib baik bagi komunitas suku tersebut. Pada masyarakat Dayak Kanayatn yang masih percaya kepada Jubata tidak terdengar upaya untuk membicarakan dengan serius apakah Jubata dikatakan tunggal atau jamak. Meskipun kalangan Kristen menolak konsep Jubata dalam masyarakat Dayak Kanayatn sebagai sebutan Allah karena sifat jamak yang diduga terkandung dalam keyakinan masyarakat terhadap Jubata. Mereka hanya menolak jika Jubata disebut atau disamakan dengan berhala. Walaupun demikian pada bagian ini penulis tetap berupaya menggali dari berbagai sumber yang relevan dan memungkinkan untuk melakukan pengkajian terhadap doktrin Keesaan Jubata.
Indikasi bahwa Jubata itu Esa, didapat dari bamang dan ritual baliatn yang menyebutkan Jubata sebagai Ne’ Nange, arti nange adalah tunggal atau tersendiri, hanya satu-satunya, tidak ada yang lain. Di daerah Anik-Darit sering disebut sebagai Nange Dikakng. Pada waktu mencari data, penulis bertanya kepada beberapa panyangahatn tentang sifat esa atau jamaknya Jubata, dalam wawancara pribadi, dengan sangat yakin para panyangahatn tersebut, menyatakan bahwa Jubata yang mereka sebutkan dalam bamang memang banyak (jamak) sesuai dengan jumlah bukit yang diyakini oleh masyarakat Dayak Kanayatn merupakan tempat kehadiran Jubata. Tetapi ketika penulis bertanya lebih jauh, mengenai perbedaan antara Jubata yang satu dengan yang lainnya para Panyangahatn tersebut tidak dapat menjelaskan. Dan kemudian ketika penulis mengajukan pertanyaan yang sifatnya menegaskan dan menggiring mereka pada pemahaman mengenai hakekat Jubata yang sesungguhnya. Para panyangahatn tersebut tiba pada kesimpulan bahwa Jubata itu sebenarnya satu, namun dapat dijumpai di berbagai tempat. Keyakinan menjawab bahwa Jubata itu jamak kemungkinan merupakan jawaban yang paling murni dalam pikiran para panyanghatn ketika mereka menyampaikan bamang. Tetapi penulis sadar bahwa tidak mungkin hanya bersandar pada pendapat para panyangahatn tersebut mengenai hakekat Jubata terutama yang berhubungan natur esensial yaitu keesaan dan kejamakan Jubata.
Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Hermanus, dengan menyebarkan angket kepada responden masyarakat Dayak Kanayatn, menunjukkan bahwa sembilan puluh koma nol tujuh persen responden menjawab bahwa Jubata adalah esa. Sedangkan penelitian yang diadakan penulis memperlihatkan fenomena yang lain, sebagian besar jemaat Kristen, menjawab bahwa jubata itu jamak. Sedangkan umat Khatolik mayoritas menjawab pertanyaan yang sama dengan jawaban Jubata itu esa. Jawaban masyarakat Dayak Kanayatn yang beragama Kristen dan Khatolik di wilayah Anik Dingir dan Darit ini tentu bukan upaya untuk menentukan poling, bahwa siapa yang paling bersar jumlah prosentasenya merupakan jawaban yang represntatif untuk menentukan keesaan Jubata dalam Masyarakat Dayak Kanayatn. Karena keesaan Jubata tidak ditentukan oleh pendapat masyarakat, sebab jika demikian, maka suatu yang ilahi statusnya ditentukan oleh poling manusia. Hal tersebut tentu berimplikasi pada yang mutlak dalam diri Allah menjadi relatif, Ia menjadi keberadaan yang bergantung pada eksistensi makhluk lainnya, dan atribut Allah sebagai yang Absolut menjadi tidak relevan. Pemikiran yang demikian tentu tidak ditemukan dalam masyarakat Dayak Kanayatn. Oleh karena itu keesaan Jubata sebagaimana telah dibicarakan di atas tidak dapat ditentukan dengan hasil wawancara terhadap para panyangahat yang dengan pola pikir spontan, atau dengan melihat polling angket.
Menurut penulis para Panyangahatn tersebut adalah para praktisi yang tidak memusingkan diri dengan hal-hal rumit, mereka hanya berpikir bagaimana menyampaikan doa masyarakat kepada Jubata, lagi pula pola penalaran mereka masih sangat sederhana, sehingga tidak berfikir mengenai hakekat Jubata yang sesungguhnya apakah Esa atau Jamak.
Dengan demikian upaya membicarakan keesaan Jubata harus dilakukan pada taraf berpikir filosofis spekulatif. Karena itu disini penulis menganjurkan menerima keesaan Jubata atas dasar pertimbangan filosofis, bahwa Jubata itu sebagai realitas mutlak yang bersifat rohaniah hal ini sejalan dengan kayakinan bahwa jubata itu roh sebagaimana telah diuraikan di atas, dan karena Ia roh maka tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, dan dapat hadir di berbagai tempat pada saat yang sama.
Jubata yang diyakini tinggal di beberapa tempat sebagaimana yang terdapat dalam bamang panyangahant bukanlah suatu doktrin, melainkan suatu doa, yang memerlukan kalrifikasi dan tafsir, agar apa yang diucapkan oleh panyangahatn benar-benar dipahami secara tepat. Sebab sesungguhnya belum ada sistematisasi ajaran tentang Jubata dalam kepercayaan masyarakat Dayak Kanayatn, yang ada hanya tafsir terhadap bamang para panyangahatn. Karena itu penulis meyakini bahwa Jubata yang dipuja dan disembah masyarakat Dayak Kanayatn bersifat tunggal yang menyatakan diri dalam berbagai cara kepada manusia di berbagai tempat. Demi menegaskan pandangan penulis terhadap keesaan Jubata penulis sependapat dengan Victor I. Tanja, yang, yang diyakini tinggal di beberapa tempat sebagaimana yang terdapat dalam b Dengan demikian kekeliruan dalam memahami roh mutlak, atau realitas ilahi yang menyatakan diri dalam barbagai wujud dan sebutan (penamaan) yang kemudian dianggap sebagai politheisme atau penyembahan berhala dapat diatasi. Gereja tidak semestinya membuang tenaga untuk mendiskreditkan masyarakat yang berkeyakinan lain sebagai penyembah berhala. tetapi segera menemukan simpul yang tepat bagi pemberitaan injil.

Atribut Relatif Jubata
Upaya untuk mengungkapkan jati diri Allah secara objektif dan sistematis telah dilakukan oleh teolog-teolog Kristen berabad-abad lamanya. Sehingga menjadi suatu model yang sangat membantu dalam kegiatan berteologi. Uraian berikut ini merupakan penerapan pola tersebut dalam rangka menjelaskan atribut-atribut Jubata yang dapat dijumpai (dinalar) oleh masyarakat Dayak Kanayatn, seperti kebaikan, dan kekudusan Jubata.

Kebaikan Jubata
Masyarakat Dayak kanayatn pada umumnya meyakini jubata itu adalah baik. Kebaikan Jubata tampak dalam sifat-sifat Jubata yang disebut dalam bamang seperti, istilah Jubata Ne’ Pangorok dan Ne’ Pangingu, (mengenai kedua istilah ini telah dijelaskan dalam catatan kaki no. 118 dan 119). Kedua istilah tersebut secara semantik menunjukkan sifat baik Jubata. Istilah ngorok sebenarnya merupakan istilah yang digunakan untuk melukiskan induk ayam yang melindungi anak-anaknya dibawah kepak sayapnya baik dari cuaca buruk atau dari serangan musuh, dan mengajari anak-anaknya bagaimana caranya memperoleh makanan. Sedangkan istilah ngingu sering muncul bersamaan dengan kata lainnya seperti ngoan dan ngarere’. Jadi kata ngingu-ngoan, ngrere’, adalah suatu rangkaian kata majemuk yang sering muncul dalam bamang dan syair-syair dalam ritus nyangahatn dan baliatn. Kata ngingu-ngoan-ngarere’ biasanya dipakai untuk melukiskan seseorang yang menjaga, mengasuh dan merawat anaknya sendiri atau anak orang lain dengan penuh kasih dan segenap tanggung jawab. Kedua istilah itu dipakai untuk menunjukkan sifat-sifat Jubata, sebagai ungkapan antropofatis, bahwa Jubata itu adalah kebaikan tertinggi dan Jubata merupakan sumber kebaikan.
Masyarakat Dayak Kanayatn sangat meyakini kebaikan Jubata, sehingga setiap perkara dalam hidup mereka selalu dibawa kepada Jubata. Ungkapan antropomorfis dan antropofatis mengenai kebaikan Jubata juga sering muncul dalam narasi dan legenda serta cerita-cerita rakyat yang mengisahkan perhatian Jubata terhadap ketidakadilan penderitaan manusia, beberapa setting narasi memiliki latar hutan dan perkampungan masyarakat. Sebuah cerita yang dituturkan oleh Bating, mengisahkan perhatian Jubata terhadap manusia yang menderita. Bahkan dalam setiap bamang, Panyangahatn mengakui dalam doanya Jubatalah yang memberkati hasil panen, hasil ternak dan setiap usaha mereka termasuk kesehatan fisik, serta perlindungan bagi seluruh komunitas masyarakat. Dengan demikian jelaslah bahwa keyakinan masyarakat Dayak Kanayatn mengenai kebaikan Jubata lebih didasarkan pada keyakinan ontologis atas realitas mutlak (Jubata) yang memiliki personalitas. Keyakinan itu juga didukung oleh hal-hal praktis yang mereka alami dan terima sebagai berkat dari Jubata.

Kekudusan Jubata
Ajaran yang sistematis dan terdokumentasi menegenai aspek kekudusan Jubata tidak didapati dalam kepercayaan masyarakat Dayak Kanayatn. Aspek kekudusan Jubata juga jarang disebutkan dalah syair-syair dan dalam bamang sebagaimana yang terdapat dalam kitab-kitab suci suatu agama. Tetapi sikap hormat terhadap Jubata sebagai “yang kudus” dapat dijumpai dalam sikap masyarakat Dayak Kanayatn dalam memelihara tradisi dan memelihara tempat-tempat “keramat” (kudus), tempat dimana manusia berjumpa dengan “yang lain” (realitas mutlak) Jubata. Tempat semacam itu tidak boleh dikotori dengan perbuatan tercela. Jika melewati tempat tersebut biasanya masyarakat basampakang (berbicara kepada sesuatu yang tidak tampak oleh mata jasmani) yang diyakini ada ditempat itu, sebagai sikap hormat dan sekaligus takut.
Ketika mewawancari beberapa orang panyangahatn di dusun Anik Tembawang, desa Anik Dingir, peneliti mengamati sikap hormat tersebut ketika peneliti dan panyangahtn memperbincangankan Jubata. Panyanghatn berhenti sejenak dan mengucapkan kalimat berikut ini: “minta maap, minta ampon boh ka’ kita Urakng Tuha (jubata) kami ngomongi kita, jukut kamuda batanya”. (kami mohon maaf, mohon ampun kepada Engkau oh orang tua (Jubata), kami membicarakan engkau, karena ada anak muda yang bertanya) ungkapan tersebut merupakan sikap penuh hormat kepada Jubata sebab biasanya untuk menghampiri atau bicara tentang Jubata harus selalu diikuti oleh ritus-ritus. Janggal bagi mereka untuk membicarakan Jubata tanpa adanya ritus yang menyertainya.
Salah satu cerita menarik dari seorang panyangahatn tentang kesalahan dalam suatu ritus yang dilakukan secara serampangan, yang mengakibatkan bencana pada tempat pemujaan yang biasanya mereka pakai untuk melaksanakan ritual agama. Kesalahan dalam melaksanakan rital agama menurut keyakinan masyarakat Dayak Kanayatn dapat berakibat fatal, bahkan sampai berakibat pada kematian bagi manusia. Peristiwa-peristiwa tertentu biasanya berupa bencana yang berhubungan dengan pelanggaran ritual, dipandang sebagai pelanggaran terhadap kekudusan dan tempat kudus Jubata.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa masyarakat Dayak Kanayatn sesungguhnya mengenal konsep kekudusan pada suatu yang ilahi (Jubata). Tetapi karena terbatasnya penalaran atau pemahaman serta keterbatasan semantik, sering kali sikap takut, hormat dan kagum kepada Jubata ditafsirkan sebagai ketakutan yang tidak benar, seperti takut kepada hantu.
Uraian mengenai kepercayaan kepada Jubata dalam Masyarakat Dayak Kanayatn sebagaimana yang telah diuraikan di atas menunjukkan bahwa kepercayaan tersebut memiliki dasar filosofis dan berdampak secara praktis dalam kehidupan real masyarakat sehari-hari, jika dikaji secara mendalam terlihat bahwa kepercayaan tersebut bersifat operatif; pragmatis dan fungsional, maksudnya bahwa kepercayaan tersebut selain memiliki dasar ontologis-metafisis tetapi juga memiliki manfaat praktis untuk menghadapi ketegangan-ketegangan yang berlangsung selama hidup. Jadi rahasia bertahannya kepercayaan kepada Jubata adalah karena, kepercayaan tersebut bersifat operatif dalam kehidupan masyarakat.


Alam dan Kosmologi Dayak Kanayatn
Keadaan geografis, seperti luasnya daerah, hutan yang lebat, sungai lembah dan gunung-gunung merupakan salah satu faktor penyebab lahirnya pemikiran mistis religi manusia Dayak tentang realitas mutlak. Konsep mengenai realitas mutlak dapat ditelusuri dengan mengamati sejauh mana kosmos atau alam itu menguasai hidup manusia. Pengalaman mengenai dahsyatnya alam membuat manusia terperangah. Di satu pihak alam itu memberi keuntungan. Di lain pihak alam itu mengundang bahaya, seperti banjir, angin topan dan sebaginya. Kondisi alamiah Kalimantan yang penuh misteri, yang kemudian melahirkan pertanyaan-pertanyaan fundamental seperti: siapkah penguasa alam ini? Siapa yang mengatur bulan dan bintang, mata hari, hujan, siang, dan malam? Kondisi yang demikian telah melahirkan konsep tentang realitas mutlak, yakni sesuatu yang harus ada, sebagai mana ia ada menyatakan dirinya. Dan bagi suku Dayak Kanayatn yang penting ialah bahwa ada kekuatan yang bersifat supranatural sudah cukup.
            Suku Dayak Kanayatn, salah satu sub suku Dayak di Kalimantan Barat menyebut realitas mutlak tersebut sebagai Jubata. Ia adalah pencipta dari segala yang ada. Dan kepadanya segala yang ada tersebut bergantung. Jubata adalah ada dan keberadaannya adalah mutlak. Ia ada dan terus ada. Menurut alam pikiran Dayak Kanayatn, Jubata ada dalam setiap ciptaannya. Tidak ada maksud jahat yang dihubung-hubungkan dengan Jubata. Karena Jubata selalu berada di pihak kebaikan, dan bila kejahatan yang ditimpakannya kepada manusia itu hanyalah sarana atau peringatan Jubata bahwa manusia harus berbuat baik.
            Selain Jubata yang adalah realitas mutlak ada juga makhluk-makhluk rohaniah, yang dianggap orang Dayak Kanayatn mempunyai hubungan dengan kosmos ini. Makhluk-makhluk rohaniah diakui berada dalam kosmos dinyatakan melalui cerita-cerita lisan orang Dayak Kanayatn atau mite-mite yang ada salah satu seperti cerita Ne’ Baruang Kulub. Cerita atau mite-mite ini sangat berhubungan dengan pandangan hidup suku Dayak Kanayatn atau dipengaruhi oleh pemahaman tentang kosmos yang dihuni oleh makhluk-makhluk rohani. Dari cerita lisan atau mite suku Dayak Kanayatn diatas penulis mengambil satu cerita untuk memaparkan mengenai adanya mahluk-mahluk rohani yang menghuni kosmos ini.
            Dalam cerita lisan atau mite suku Dayak Kanayatn yang berjudul Ne’ Baruang Kulub, penulis menemukan ada penguraian yang secara khusus memaparkan bawa kosmos ini dihuni oleh makhluk-makhluk rohani. Melalui keturunan Ne’ Baruang Kulub suku Dayak Kanayatn meyakini bahwa setiap tempat atau di alam nyata didalam kosmos ini ada yang menghuninya makhluk-makhluk rohani. Keturunan Ne’ Baruang Kulub itu adalah sebagai berikut:
I. Ne’ Baruang Kulub kawin dengan Ne’ Si Putih Panara Subayatn, yang adalah hantu. Anak-anaknya, yaitu: Burung dan Bintang Rasi yang bernama : Keto Laki, Keto Bini, Keto Maniamas, Keto Tungal, Keto Bakar, Buria, Cece, Kohor, Popo Buragah, So’oh, Adatn, Kutuk, Bilang, Macet, Parere, Pararah, Kijakng, Owanyi, Ujatn Darang, Binalu, Duya, dan Punggana Punggani.
II. Ne’ Baruang Kulub kawin dengan Ne’ Petor Batu Buntar Muha, anaknya yaitu semua cacat, yang beri nama : Sarinteke yang berdiam di tangga rumah, Antu Rege yang tinggal di dapur, Salat Kena’ Sansa, yang berdiam di Jalan, Sima yang berdiam di kuburan nabi, Opos yang tinggal di simpang kuburan, Lagi yang berdiam di tanah berbukit yang kemudian menjadi Kamang, yaitu orang yang berani dipanggil apabila ada kerusuhan besar.
Penjelasan diatas menunjukan bahwa suku Dayak Kanayatn sangatlah dipengaruhi oleh mite-mite ini. Setiap aspek kehidupan suku Dayak Kanayatn dihubung-hubungkan dengan adanya pengaruh dari makhluk-makhluk rohani yang suku Dayak Kanayatn yakini berasal dari keturunan Ne’ Baruang Kulub yang penulis uraikan diatas. Anak-anak Ne’ Baruang Kulub inilah yang menempati setiap tempat yang ada didalam kosmos ini.
Jadi penulis menyatakan bahwa suku Dayak Kanayatn sampai saat ini masih mempercayai adanya makhluk-makhluk rohani di alam semesta atau kosmos yang ditempati suku Dayak Kanayatn sekarang.
Suku Dayak Kanayatn adalah suku yang selalu berhubungan dengan kosmos atau alam semesta. Mereka hidup di tengah-tengah alam yang maha luas dan ganas. Oleh karena itu, untuk eksistensi diri, mereka selalu melakukan percobaan. Hasil percobaan-percobaan yang dianggap praktek terbaik akan diikuti untuk warisan anak-cucu. Praktek terbaik inilah yang kini dikenal sebagai adat. Adat diyakini sebagai solusi menciptakan keseimbangan kehidupan, antar sesama manusia, antara mereka dengan alam sekitar dan antara mereka dengan sang penguasa alam semesta. Melanggar adat berarti mengancam kehidupan.
Dalam kehidupan Dayak Kanayatn sudah sejak lama meyakini bahwa kosmos diciptakan dari ada yang mutlak, yaitu Jubata. Jubata-lah yang menciptakan dunia dan segala isinya. Untuk mengungkapkan apa yang disebut “Jubata” , agar dapat dimengerti dan dipahami secara jelas bukanlah sederhana dan perlu waktu yang cukup banyak, karena tidak dapat dipisahkan dan sangat erat sekali kaitannya dengan adat, mithe-mithe tentang kejadian alam semesta dan manusia dan mithe-mithe lainya yang memperlihatkan keterkaitan-keterkaitan antara manusia dengan makhluk-makhluk lain serta alam lingkungan sekitarnya.
Secara ringkas, suku Dayak Kanayatn yakin bahwa ada dua ruang lingkup alam kehidupan, yaitu kehidupan alam nyata dan kehidupan alam maya.
Yang berada di alam kehidupan nyata ialah makhluk hidup, tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia. Sedangkan yang berada di alam kehidupan maya antara lain: Ibalis, bunyi’an (mahluk halus), antu (hantu), sumangat urang mati(semangat orang mati), dan Jubata. Kedua alam kehidupan ini dapat saling pengaruh-mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Kekuatan supranatural yang dimiliki oleh seseorang adalah salah satu contoh dari akibat tersebut di atas. Untuk menjaga keseimbangan antara kehidupan alam nyata dan kehidupan alam maya, serta untuk menata seluruh aspek kehidupan warganya, hubungan timbal-balik sesama warganya, hubungan warganya dengan alam lingkungannya, serta penciptanya/ Jubata agar tetap serasi dan harmonis, nenek moyang para leluhur mereka telah menyusun secara arif dan bijaksana ketentuan-ketentuan, aturan-aturan yang harus ditaati dan dijadikan pengangan hidup bagi seluruh warganya dan warga keturunannya dari generasi ke generasi sampai kini, yang terangkum dalam apa yang disebut adat.

Suku Dayak Kanayatn yang hidup berpencar-pencar di desa mereka masing-masing secara umum dikategorikan dalam masyarakat hortikultural. Sebuah masyarakat yang menanam tanaman pangan guna memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga dalam jangka waktu satu tahun. Bentuk subsistensi yang demikian itu bukan untuk mengkasilkan produk yang surplus (pasar oriented), namun hanya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga saja. Suku Dayak Kanayatn dalam menjalani rutinitas kehidupannya tidak lepas dari praktek religius tradisionalnya yang diwarisi oleh para leluhurnya, terutama dalam interaksinya dengan alam lingkungan hidupnya.
Mereka percaya bahwa dalam usaha mendapatkan rejeki, kesehatan dan keselamatan dalam kehidupan ini tidak hanya bertumpu pada usaha kerja keras saja, tetapi juga pada harapan adanya campur tangan dari “apa” yang mereka yakini. Dengan kata lain, religi tradisionalnya mengajarkan bahwa segala sesuatu yang mereka dapatkan dalam kehidupan mereka baik dan jahat selalu ada campur tangan dari unsur-unsur lain di luar manusia.
Kosmos atau alam semesta selaku ciptaan menurut suku Dayak Kanayatn memiliki jiwa sang pencipta. Maka ciptaan-ciptaan yang ada seperti air, padi, pohon, dan sungai memiliki roh Jubata. Ini tersirat dalam syair-syair religi seperti terungkap dalam doa naik dango (ucapan syukur panen padi) atau pada saat panyangahatn/ imam (bamang/doa) yang ada, dimana disebutkan Jubata kayu aya’ (Jubata kayu besar), Jubata ai’ (Jubata air), dan Jubata menguasai segala tempat.
            Struktur rohani dan konfrontasi kosmos suku Dayak Kanayatn bersumber pada dan berdasarkan pada latarbelakang kesadaran yang didasarkan pada persaan (intuitf), tentang kesatuan dan kemutlakan tata tertib hidup dalam kosmos atau alam. Manusia dan alam merupakan suatu kesatuan yang sangat erat dalam menciptakan suatu keserasiaan yang indah, kesatuan dan keserasiaan dari kehidupan, pekerjaan rohani dan perlakuan sosial, diatur dan ditentukan oleh hubungan dengan kosmos atau alam. Keserasiaan kosmos mengakibatkan suku Dayak Kanayatn merasa dirinya sebagai suatu pokok (subjek) di antara sekian banyak pokok lain.
            Dunia ini dilihat dalam pengertian penuh dengan daya gaib atau kekuasaan yang tidak tampak. Dengan istilah yang bisa dapat dikatakan bahwa mereka hidup dalam suasana magis di mana alam dipandang sebagi suatu area oprasi dari kuasa-kuasa ini sangat besar. Supaya daya-daya gaib itu jangan mengakibatkan hal-hal yang tidak baik baginya atau keluarganya, maka keserasiaan kosmis harus dipertahankan dan dipelihara dengan segala macam upacara adat. Di balik itu pula, akibat ketakutan-ketakutan itu timbulah usaha untuk memiliki atau menguasai daya-daya gaib itu, pemilikan atau penguasaan dan penggunaan daya-daya ini dilakukan dengan berbagai formula, kata atau lakon tertentu yang dikenal dengan perbuatan-perbuatan magis. Ketakutan serupa tadi mempunyai tempat yang khusus pula bagi ilah tertinggi, yang dipandang sebagi pencipta dari sesuatu yang ada di dunia ini. Hampir semua suku Dayak Kanayatn mengenal ilah pencipta ini, walaupun nama-namanya berbeda-beda.
            Pikiran-pikiran dasar yang terdapat dalam suku Dayak Kanayatn mengenai kosmologi ini sendirinya diproyeksikan dalam bentuk-bentuk kehidupan dan perbuatan-perbuatan sosial, seperti pesembahan-persembahan, upacara-upacara kematian, perbuatan-perbuatan gaib dan sebagainya. Bahkan dapat dikatakan bahwa hampir seluruh tindakan praktik kehidupan semuanya dipengaruhi oleh pandangan hidup atau kosmologi yang ada. Demikianlah, maka hal-hal tersebut dicerminkan dalam hukum adat suku Dayak Kanayatn dan tentunya juga dalam bentuk-bnetuk budaya dan keseniannya.
            Adat yang mencakup pengertian religi (world-view), norma, dan etika yang selanjutnya diperjelas oleh mitos merupakan pandangan hidup (way of life) bagi masyarakat holtikultural Dayak Kanayatn dalam kehidupannya. Adat bersama mitosnya mempengaruhi dan membentuk sikap serta perilaku individu maupun komunitas terhadap alam dalam sistem kehidupan ini.
Berdasarkan pandangan dunianya, masyarakat Dayak Kanayatn memahami manusia itu sebagai bagian dari alam dalam suatu bentuk sistem kehidupan. Bentuk sistem kehidupan ini merupakan lingkungan hidup bersama dari unsur manusia dan unsur-unsur lain yang non-manusia (organisme dan non-organisme). Kesemua unsur dalam sistem itu memiliki nilai dan fungsinya masing-masing.
Pandangan kosmologi tersebut telah berdampak pada pemahaman mereka terhadap hubungan manusia dengan alam yang bersifat antropokosmik, yang berarti manusia dan alam menyatu, tidak terpisahkan, hal ini berimplikasi terhadap korelasi dari unsur-unsur dalam sistem kehidupan itu di mana manusia sebagai salah satu unsurnya tidak pernah memanifestasikan diri mereka sebagai raja penguasa atas alam.
Pandangan kosmologi yang demikian itu melahirkan suatu etika lingkungan hidup yang tercakup dalam adat sehingga membuat masyarakat Dayak Kanayatn mempunyai sikap menghargai, menghormati dan bersahabat terhadap alam.


. Sujarni Alloy, Albertus, Chatarina Pancer Istiyani,…14. Ada beberapa pakar yang berpendapat bahwa tanah asal usul ditentukan dengan melihat tingkat keanekaragaman bahasa yang ada di wilayah tersebut. Nothofer dalam Sari 14 (1996:34) berhipotesis bahwa tanah asal usul suatu keluarga bahasa terletak di daerah yang isoleknya paling beragam. Dasar hipotesis ini ialah bahwa makin lama suatu daerah didiami oleh penutur isolek-isolek yang berasal dari suatu bahasa purba, makin tinggi tingkat keanekaragaman isoleknya. Sebaliknya kalau penutur suatu isolek yang timbul beberapa abad ssudah terpisahnya suatu bahasa purba yang meninggalkan tanah asal usulnya untuk mendiami daerah yang baru, maka waktu untuk timbulnya isolek yang beraneka ragam di tempat yang baru itu sangat kurang. Artinya biasanya isolek yang dipergunakan di luar tanah asal usul suatu bahasa bahasa purba bersifat lebih seragam dari pada isolek yang digunakan di daerah asal usul atau berdekatan dengan daerah itu. walaupun Nothofer lebih menekankan kepada daerah asal usul keluarga bahasa, tetapi hal ini menggambarkan tanah asal usul penutur (manusia) yang mewarisi, membawa dan menyebarkan bahasa tersebut. Jadi untuk menetukan tanah asal usul dapat ditetapkan dengan menggunakan konsep tingkat keragaman yang tinggi (highest order of diversity).
. Sujarni Alloy, Albertus, Chatarina Pancer Istiyani,…13
. Ibid,… 17
. Ibid,…18
. J.U Lontaan, Sejarah Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat Edisi I. (Pontianak: Pemda Tingkat I Kal-Bar,1975),48
. Sujarni Aloy…15
. Ibid,…15
. Loren Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), 4-5
. Panyangahatn adalah imam menurut versi orang Dayak Kanayatn, merekalah yang dipercayakan untuk menyampaikan bamang (doa) masyarakat Dayak Kanayatn.kepada Jubata. Adapun keempat Panyangahatn tersebut, disapa dengan Pa’Kanden, Pa’ Unyin, Pa’ Mujin, dan Pa’ Iter. Rata-rata berumur lebih dari 60 tahun.
. Hermanus…, 66
. Herculanus Bahari S, Makana Pantak dalam Binua Dayak Kanayatn. Dalam Nico Andasputra…, 34. Bahari Sinju menjelaskan bahwa masyarakat Dayak percaya bahwa hantu (roh jahat) selalu mengganggu manusia, baik secara fisik maupun secara rohani. Sedangkan pama (roh suci dari nenek moyang) selalu melindungi, menjaga dan memelihara keturunannya, yang masih hidup atas kehendak Jubata Ne’ Patampa’. Konsep ini memang dekat dengan orang-orang kudus (suci) dalam tradisi Khatolik. Herculanus Bahari S, Makna Pantak dalam Binua Dayak Kanayatn.
. Evigo…,29
. kulikng adalah suatu bentuk pagar asal-asalan yang menandakan bahwa buah-buahan yang ada di dalam kulikng tidak boleh diambil diambil kecuali pemiliknya.
. Tikal adalah tanda pada batang pohon yang dibuat dari bambu yang dibelah kecil dipasang menyilang sebagi tanda bahwa pohon tersebut tidak boleh dipanjat selain oleh pemiliknya.
. Wawancara pribadi dengan Saebar Umar (55), tanggal 13 Januari 2009, di Desa Anik Dingir, Kecamatan Menyuke
. Jubata Ne’Pangorok memimpin, mengarahkan seluruh ciptaan.
. Jubata Ne’Pangingu melindungi atau memelihara ciptaan.
. Bating (65) Seorang informan di Desa Anik Dingir.
. Dalam keyakinan masyarakat Dayak Kanayatn “mimpi” adalah sarana yang sering kali dipakai oleh Jubata untuk mengkomunikasikan maksudnya kepada manusia.
. Bating, Wawancara pribadi tanggal 17 Januari 2010 di Desa Anik Dingir.
. Seorang informan dari Senakin, pada saat Penulis dan Tim penerjemah Alkitab untuk bahasa Banana’-Ahe melakukan UNS ceking ke masyarakat untuk kitab Yunus, beliau menyanggah terjemahan “kepada jubata nang buke’ Jubata artinya kepada allah yang bukan Allah” (ftase itu untuk menggantikan istilah berhala) bagi beliau Jubata hanya satu. Jadi beliau mengusulkan frase lain yaitu “jukut nang jaji pangaco pangeba talino”. Mungkin sekali informan ini, telah dipengaruh oleh doktrin Kristen tentang keesaan Allah.
. Evigo…., 30
. Masyarakat Dayak Kanayatn percaya Jubata hadir pada tempat-tempat tinggi tertentu di gunung atau bukit, kriteria untuk menentukan bahwa tempat tersebut adalah tempat kehadiran Jubata biasanya didapat melalui mimpi, dan mungkin sekali beberapa kisah misteri yang menggetarkan hati, yang diinterpretasikan sebagai perjumpaan dengan Jubata.
. Hermanus…, 60
. Victor Immanuel Tanja, Hidup Itu Indah, (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 1986),…65. Dalam kepercayaan-kepercayaan suku yang beranekaragam di bumi persada kita ini kesemua pemeluknya memiliki kesadaran, kepercayaan dan praktek-praktek ibadah terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Perlu diingat bahwa apa yang dinamakan polytheisme (menyembah Allah yang banyak) sebenarnya tidak ada karena pengertian tersebut berakar pada salah faham tentang zat ilahi yang satu yang menampakkan wujudnya dalam berbagai bentuk.
. Bandingkan dengan Evigo…31
. Keyakinan tersebut ini mumcul dalam bamang (doa) dikatakan “Kami bapinta ka’ Kita Jubata Ne’ Pangingu, supaya nono’i’ kami, bare kami parise gunapm. Nang tojekng dikita pampi’i’, nang tajam dikita’ tumpuli” (kami mohon kepada-Mu oh Jubata, agar engkau memayungi kami,berilah kami perisai sebagi pelindung, yang runcing engkau dibuat menjadi lembut (terumpul karena beradu dengan benda yang lebih keras) dan yang tajam engkau jadikan tumpul. (bandingkan dengan Evigo,…31
. Ada sebuah keluarga yang sedang mengalami kesusahan, karena salah satu anggota keluarga yang menopang kehidupan mereka terbaring tak berdaya, karena sakit yang tidak kunjung sembuh. Semakin lama keadaannya semakin payah. Segala upaya telah dilakukan agar sanak mereka yang sakit ini dapat sembuh. Ternyata penyakit yang diderita bukan penyakit biasa, penyakit tersebut hanya bisa sembuh dengan memakan ramuan tertentu, yang susah dicari atau dalam arti sangat langka. Singkat cerita diutuslah salah seorang anggota keluarga untuk mencari penawar sakit tersebut. setelah melewati hutan, gunung, dan lembah. Sang utusan merasa lelah, namun apa yang dicari belum dijumpai. Merasa kelelahan sang utusan singah di suatu tempat yang teduh dihutan belantara. Dari kejauhan sayup-sayup terdengar suara ayam berkokok, sang utusan berpikir mungin dekat dengan tempat ia beristrahat terdapat perkampungan masyarakat.
Perlahan-lahan ia mulai menyusuri jalan menuju ke arah suara ayam yang tadi berkokok. Akhirnya tibalah ia di satu reme (sebuah tempat bekas ladang). Di sana ia menemukan sebuah pondok ladang, dan ada seorang nenek tua, yang menyapa dan mempersilakakan ia beristirahat, sang utusan lalu beristrahat dan menceriterakan keperluannya untuk mencari penawar bagi kerabatnya yang sedang sakit. Ia bertanya kepada si nenek tua, apakah si nenek tau dimana ia harus mencari, penawar tersebut. si nenek berkata kamu istirahat aja dulu supaya tenaga mu pulih, apa yang kamu cari itu ada di sini nanti diambilkan untukmu. Keesokan harinya si nenek mengambilkan dan menyerahkan penawar yang dimaksud kepada sang utusan, kemudian sang utusan mohon diri untuk kembali.
Setelah tiba di rumah, penawar penyakit itu diberikan kepada si sakit, maka secara berangsur-angsur kesehatannyapun pulih. Sebagai rasa syukur mereka ingin mengucapkan terima kasih kepada nenek tua yang telah memberikan penawar bagi kesembuhan si sakit. Tetapi ketika mereka menyusuri jalan, dan mencari-cari tempat di mana, si nenek tua tinggal. Tempat tersebut sudah tidak diketemukan lagi. Mereka akhirnya berkseimpulan bahwa nenek tua yang memberikan penawar tersebut adalah penjelmaan Jubata.
. Pak Unyin (panyangahatn), menuturkan “ketika masyarakat Anik mengadakan ritual naik ka kadiaman (pergi ke tempat pemujaan) tempat tersebut disebut Pabayo, mereka membawa babi untuk persembahkan dalam ritual tersebut. beberapa waktu berselang setelah upacara tersebut, pohon-pohon besar disekitar area tempat upacara adat tersebut dihantam petir. Kemudian ada yang bermimpi bahwa peristiwa itu terjadi karena mereka membawa babi belang, dan Jubata tidak mau lagi ditemui di tempat itu, ia dikatakan pindah di satu bukit lain yang disebut Kalawit. Di sanalah saat ini tempat untuk mengadakan ritual.
Niko Andasputra, Kalimantan Review, No. 01Th 1 Januari-Juli 1992 s/d No 09 Th 03 Oktober-Desember 1992. Manusia Dayak: Manifestasi perilaku dan Perbuatannya (Pontianak: Lembaga dan Penunjang Pembangunan Sosial-Instute of Dayakology Research and Development, 1992), hlm. 1-3.
Ibid…hlm. 3.
IDRD, Cerita Ne’ Baruang Kulub, (Pontianak:Institute of Dayakology Research and Development, 1994), hlm. 12
Niko Andas Saputra, Kalimantan Review,No 01 Th 1 Januari-Juli 1992 Dayak Kanayant dan Alam, (Pontianak: Lembaga dan Penunjang Pembangunan Sosial-Instute of Dayakology Research and Development, 1992), hlm, 7.
Niko Andas Saputra, Kalimantan Review,No 01 Th 1 Januari-Juli 1992 Dayak Kanayant dan Alam, (Pontianak: Lembaga dan Penunjang Pembangunan Sosial-Instute of Dayakology Research and Development, 1992), hlm. 19.
Vincentius Julipin, Kalimantan Review, No. 05Th 1 Septe1mber-Desember1993. Melestarikan Alam Kalimatan Barat(Pontianak: Lembaga dan Penunjang Pembangunan Sosial-Instute of Dayakology Research and Development, 1993), hlm. 21.
Ibid…hlm. 22.
Ibid…hlm 22.
Ibid…hlm. 25-26.
Ibid…hlm. 26.
Ibid…hlm. 12.


Tiada ulasan:

Catat Ulasan