Tiar
Angkal FC
Mengenal Suku
Dayak Secara Umum
Beberapa pakar berpendapat bahwa untuk mengetahui asal usul suatu suku
bangsa yang perlu diteliti adalah keanekaragaman bahasa yang ada di wilayah
tersebut. Hasil penelitian terhadap suku dan bahasa Dayak di Kalimantan Barat
menunjukan bahwa ternyata subsuku dan bahasa Dayak di Kalimatan Barat mempunyai
tingkat keanekaragaman yang tinggi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pulau
Kalimantan adalah tanah asal usul orang Dayak dan Melayu yang berketurunan
Dayak karena mengubah identitasnya pada sekitar tahun 1800-an karena berganti
agama. Berdasarkan teori di atas maka dapat dipastikan
bahwa Pulau Kalimantan adalah tanah asal usul suku (orang) Dayak.
Beberapa teori
terdahulu menyatakan bahwa penduduk Pulau Kalimantan berasal dari migrasi suku
bangsa Austronesia. Ada dua teori yang menjelaskan proses perpindahan suku
bangsa tersebut. Teori pertama berasal dari P dan F Sarasin (1892-1893), yang
kemudian didukung oleh Heine-Geldern (1932). Proses perpindahan suku bangsa
Austronesia tersebut adalah sebagai berikut:
Suku-suku asli
di rantau ini kononnya orang Vedda. Mereka didesak oleh pendatang baru dari
Benua Asia lebih kurang 5000 tahun yang lalu. Pendatang ini berhijrah ke
pesisir Asia Tenggara, termasuk perpulauannya dan memencilkan suku asli
tersebut. Penghijraan itu dinamakan Melayu Proto. Sesudah 3000 tahun, mereka
pula yang didesak dengan gelombang penghijraan yang baru yang dinamakan Melayu
Deutro. Karena kedua-dua kelompok, Proto dan Deutro ini, berasal dari daerah
dan sumber budaya dan bangsa yang sama maka mereka bergaul dan berpadu, kecuali
di beberapa daerah pedalaman yang hingga kini masih memperlihatkan kebudayaan
Melayu Proto.
Ahli lainnya
seperti Henrik Kern (1889) menyatakan bahwa rumpun Austronesia berasal dari
Cina Selatan atau bagian utara Vietnam berpindah ke arah selatan menuju Asia
Tenggara melalui beberapa buah sungai yang mengalir di tempat itu.
Sewaktu
orang-orang Austronesia masuk pulau Kalimantan, mereka mendapati pulau ini
masih berbentuk hutan belantara. Kemudian mereka hidup di dalam belantara ini,
bergaul dengan alam dan menyatu dengan alam, hutan, sungai dan terbiasa dengan
kekuatan-kekuatan alam. Dapat dimengerti apabila alam
sangat berpengaruh dan paling banyak menentukan perkembangan budaya dan
peradaban yang mereka miliki.
Berdasarkan
kutipan J.U Lontaan dari tulisan Ch.F.H.Duman (1924) dikatakan, bahwa suku
Dayaklah penduduk asli pulau Kalimantan. Mula-mula mereka menduduki (mendiami)
tepi sungai Kapuas dan laut Kalimantan, tetapi datangnya Melayu dari Sumatera
dan dari tanah Semenanjung Malaka, terpaksa terdesaklah mereka ke hulu sungai.
Sebelum
kedatangan orang-orang Austronesia di Nusantara termasuk di pulau Kalimantan,
pulau Kalimantan sudah dihuni oleh sekolompok suku bangsa yang belum diketahui
identitasnya. King
mengungkapkan ”We have Evidence of human habitation in Borneo going back at
least 35.000 to 4000 years, the Austronesia speaking ancestors of today’s
native population of the island only began to seatle there quite recently,
probably 4500 years ago.”
Bukti-bukti arkeologi terkini yang
ditemukan di Sabah dan Sarawak Malaysia, dapat dijadikan patokan untuk melihat
keadaan pulau Kalimantan pada masa purba. Misalnya penemuan fosil tengkorak
yang dianggap sebagai manusia modern (homo sapiens) oleh Tom Harrison di Gua
Niah Gunung Subis dekat Miri, Serawak. Umur tengkorak ini diperkirakan
mempunyai rentang waktu antara 38.000 sampai 40.000 tahun.
Berbagai teori
yang dikemukan di atas, mengokohkan kayakinan bahwa suku Dayak memang telah
menjadi penghuni pulau Kalimantan sejak zaman permulaan, hal ini sejalan dengan
cerita-cerita rakyat yang dituturkan secara lisan tentang asal usul suku Dayak.
Filosofi Dayak
Filosofi Dayak yang sangat terkenal
terkandung dalam salam Dayak atau kata pembukaan yang dirumuskan sejak beberapa
puluh tahun yang lalu berbunyi: “Adil Ka’ Talino Ba Curamin Ka’ Saruga Ba
Sengat Ka’ Jubata”. Filosofi ini akan kami uraikan secara sistematis untuk
mengetahui Filsafat Dayak secara menyeluruh. Berikut ini penjelasan dari makana
darai filisofi Dayak tersebut.
1. Adil Ka’ Talino, adalah kata yang mempunyai makna
bahwa manusia Dayak itu harus hidup adil kepada sesama manusia. Cinta damai dan
keadilan ini tertanam pada masyarakat Dayak dalam kehidupan didunia ini untuk
mencapai kehidupan yang sempurna selama hidup. Kehidupan manusia Dayak tidak
terlepas dari golongan yang satu dengan golongan yang lain, oleh sebab itu
keadilan harus bisa dilestaraikan dan dijaga dalam setiap manusia Dayak.
2. Bacuramin Ka’ Saruga, adalah istilah yang digunakan
masyarakat Dayak untuk menujuk kesempurnaan hidup manusia. Kata ini mempunyai
makna bahwa manusia Dayak harus hidup berpadanan dengan kehidupan yang diatas
atau hidup yang sempurna atau tertinggi yang sebagi contoh hidup manusia Dayak.
3. Ba Sengata Ka’ Jubata, adalah hidup manusia Dayak
didasarkat atas Yang Ilahi atau Realitas Mutlak yang dipercayai oleh manusia
Dayak yang disebut Jubata. Masyarakat Dayak meyakini bahwa Jubata
yang memebrikan kehidupan dan kelimpahan dalam setiap aspek kehidupan
masyarakat Dayak. Berikut ini kami akan menguraikan secara singat mengenai
istilah Jubatayang didalamnya: Atribut Absolut Jubata, dan Atribut Relatif
Jubata.
Atribut Absolut Jubata
Pada bagian ini
penulis akan mengikuti pola uraian sistematis dalam teologi Kristen mengenai
atribut Allah, dalam upaya menjelaskan keyakinan kepada Jubata, hal ini
dimaksud agar mempermudah pemahaman terhadap eksistensi dan atribut Jubata.
Meskipun penulis menyadari bahwa uraian mengenai topik ini tidak mungkin
sedetail sebagaimana yang terdapat uraian teologi Kristen tentang atribut
Allah. Hal tersebut disebabkan sumber tertulis yang masih sangat minim dan
sumber lisan yang sudah mualai langka karena termakan usia.
Jubata sebagai yang Mutlak
Istilah yang Mutlak (absolute)
merupakan istilah filosofis, Loren Bagus, mendefinisikannya sebagai berikut:
1. Realitas dasar, Dasar Dunia, atau
prinsip kosmis yang merupakan asal-usul eksistensi dan semua kegiatannya,
kesatuan dan keberagamannya.
2. Yang ada yang tidak menggantungkan
keberadaan dan kegiatannya pada suatu yang lain, sebaliknya, segala sesuatu
yang lainnya menggantungkan keberadaan dan kegiatannya, pada Yang-ada ini. dan
segala sesuatu lainnya akhirnya dapat dikembalikan pada Yang-ada ini.
3. Keseluruhan organis dan pemikiran
yang ada dalam proses aktualisasi dan pemenuhan semua eksistensi yang sementara
dan terbatas.
4. Realitas (Yang-ada, substansi)
sebagaimana ada dalam dirinya sendiri, yang berlawanan dengan segi yang tampak
realitas itu.
5. Realitas yang memuat segala sesuatu
yang terbatas.
6. yang kekal,
tidak terbatas, tidak bersyarat, sempurna dan tidak berubah. Subjek ini tidak
bergantung pada yang lain. Didalam dirinya terkandung segala sesuatu yang
berada dan menciptakan segala sesuatu yang ada. Dalam agama sang absolute
adalah Tuhan (Allah). Dalam Fitche sang absolute adalah EGO. Dalam Hegel, sang
absolut adalah rasio dunia (roh mutlak). Dalam Schopenhauer, sang absolute
adalah kehendak. Dalam Bergson, sang absolute adalah intuisi.
Berdasarkan
definisi di atas maka yang mutlak adalah adalah sesuatu yang ada dengan
sendirinya sebagaimana ia harus ada. Keberadaan-Nya tidak bergantung kebaradaan
lain.
Jubata diyakini
oleh masyarakat Dayak Kanayatn sebagai sesuatu yang ada dengan sendirinya.
Nenek moyang masyarakat Dayak Kanayatn tidak berupaya mengungkapkan keberadaan
Jubata atau tidak bertanya mengenai keberadaan Jubata melainkan mendorong
pemujaan terhadap Jubata kepada setiap generasi, Sebagai yang absolut Jubata
adalah Roh, sebagai Roh, Jubata berpribadi. Keyakinan Jubata sebagai Roh
ditegaskan oleh empat orang panyangahatn dalam
wawancara dengan penulis, pada saat mencari data untuk penelitian ini, ketika
ditanya apakah Jubata bisa dilihat oleh mata kita?, semua panyangahatn
menjawab bahwa Jubata tidak dapat dilihat. Ahidin seorang narasumber yang
diwawancarai Hermanus, terkait dengan pegertian Jubata adalah Roh, mengatakan
bahwa, “Jubata adalah suatu roh yang tidak memiliki tubuh dan daging. Sehingga
tak seorangpun tahu mengenai rupa Jubata, karena Jubata tidak dapat
dilihat.oleh mata manusia. Dalam bamang yang
disampaikan panyangahatn dalam setiap ritus agama suku, selalu disebut “pama
Jubata”, konsep masyarakat Kanayatn tentang pama pada umumnya
mengacu kepada “roh suci/tinggi” baik untuk Jubata
maupun pama nenek moyang yang dianggap suci atau luhur, karena kesaktian
atau kakayaan yang mereka miliki. Demikian juga ungkapan Jubata bulatn,
bintakng, kayu aya’, kayu enek,.. sebagaimana yang telah dikutip terdahulu,
hal tersebut menurut Evigo sebagaimana dikutip dari beberapa sumber, bukan
berarti Jubata itu banyak (jamak) tetapi artinya ia berada dimana-mana atau
dapat dijumpai diberbagai tempat. Kita dapat salah paham karena keterbatasan
bahasa dan pengungkapannya. Konsep ini meneguhkan
pendapat bahwa Jubata itu roh, oleh karena Jubata itu roh maka Ia tidak dapat
dibatasi oleh ruang dan waktu. Sebab hanya roh Allahlah yang dapat hadir
bersamaan pada saat yang sama dan di tempat yang berbeda. Penjelasan mengenai
presensi Jubata yang tanpa dibatasi ruang dan waktu sebagaimana tercermin dalam
beberapa pendapat di atas menunjukkan bahwa masyarakat Dayak Kanayatn percaya
bahwa Jubata itu roh adanya.
Konsep bahwa
Jubata adalah roh seharusnya berimplikasi kepada doktrin tentang
ketidakterbatasan Jubata. Tetapi dalam kepercayaan kepada Jubata, pengajaran
tesebut tidak mendapat perhatian oleh karena konsep masyarakat suku ini masih
sangat sederhana, sehingga sangat relevan menggali informasi dari masyarakat
untuk mengetahui pemahaman masyarakat tentang ketidakterbatasan Jubata.
Disini akan
diberikan ilustrasi mengenai ketidakterbatasan Jubata dalam hal mengetahui.
Masyarakat Dayak Kanayatn biasanya memiliki pohon buah-buahan yang ditanam di
area kebun atau di lokasi bekas perkampungan (timawakng) yang sudah
ditinggalkan berpuluh-puluh tahun. Biasanya tempat seperti itu sangat jauh dari
rumah sehingga sulit untuk mengontrol atau mengawasi area tersebut. Ada suatu
mekanisme pengawasan sebagai cara antisipasi, agar buah-buahan di kebun
tersebut tidak diambil orang lain yaitu dengan cara membuat kulikng
dan tikal pada pohon. Pada zaman dahulu
orang tidak berani coba-coba untuk mengambil, karena mereka memiliki keyakinan
bahwa Jubata tahu jika mereka mengambil apa yang bukan merupakan milik mereka. Sebenarnya ilustrasi ini merupakan suatu bukti bahwa
Masyarakat Dayak Kanayatn memiliki konsep ketidakterbatasan Allah dalam hal
mengetahui atau doktrin tentang kemahatahuan Jubata. Selain itu tentu Jubata
itu tidak terbatas dalam kuasa-Nya. Kemahakuasaan Jubata sebenarnya dapat
dijumpai dalam keyakinan masyarakat Dayak Kanayatn pada kisah penciptaan, serta
ketujuh sifat Jubata yang sisebut sebagai Ne’ Panampa, Pajaji dan sebagainya
sebagaimana telah diuraikan terdahulu.
Masyarakat
Dayak Kanayatn juga yakin jika Jubata memiliki personalitas (berkeperibadian).
Unsur-unsur personalitas Jubata dapat dilihat dalam ungkapan antropamorfis
terhadap sifat Jubata, seperti, Jubata Ne’ Pangorok,
dan Jubata Ne’ Pangingu. Kedua sifat ini
sebagaimana juga sudah disinggung pada penjelasan terdahulu menunjukkan bahwa
Jubata memiliki personalitas. Selain itu banyak sekali legenda dan
cerita-cerita rakyat yang mengisahkan keterlibatan Jubata dalam menangani
masalah manusia atau menguji ketulusan manusia. Bating
mengisahkan:
Pada suatu hari
di sebuah perkampungan rumah panjang masyarakat Dayak, terlihatlah seseorang
yang sedang berjalan dari ujung sebelah timur kampung menuju ka arah rumah
panjang tempat tinggal mereka. Ketika semakin dekat, maka tampaklah penampilan
yang kurang menarik dari orang tersebut, ternyata orang tersebut hendak bertamu,
dan ia mulai menaiki tangga rumah panjang kemudian menyapa para penghuni rumah
panjang, yang pada saat itu kebanyakan wanita dan anak-anak yang sedang
menjemur padi, karena penampilan yang tidak meyakinkan tamu itu, maka tamu
tersebut tidak telalu dipedulikan. Setelah cukup lama, sang tamu berpamitan,
berjalan menuruni tangga, lalu ketika sampai ke ujung kampung sebelah Barat
beberapa anak melihat bahwa orang tersebut ternyata menghilang, dan
memberitahukan kepada orang tua mereka, tetapi mereka tidak percaya, mereka
bepikir bahwa tamu tersebut menghilang ditikungan jalan, sehingga tidak
terlihat lagi. Beberapa malam malam kemudian ada yang bermimpi bahwa ternyata tamu tersebut adalah Jubata yang hendak
memberkati padi mereka, tetapi karena mereka kurang peduli, maka pada tahun itu
mereka medapat hasil padi yang tidak memuaskan…”
Makna yang
terkandung dalam kisah tesebut sesungguhnya hendak menegaskan bahwa Jubata
memiliki personalitas. Personalitas Jubata dalam kisah ini ditunjukan dengan
menguji hati, apakah terdapat ketulusan pada manusia dalam menjalani dan
memperlakukan orang lain, yang dalam hal ini mumngkin adalah orang asing.
Bukankah Alkitab juga memiliki narasi yang sama, Ketika Abraham menjamu dua
orang tamunya tetapi ternyata tamu tersebut bukanlah manusia biasa, tetapi
mereka adalah utusan Allah. Dalam kisah Abraham hospitalitas manusia terhadap
orang asing mendapat nilai positif. Oleh karena itu penulis menyimpulkan bahwa
Jubata adalah realitas mutlak, makhluk rohaniah yang memiliki personalitas.
Keesaan Jubata
Perbincangan
mengenai doktrin keesaan Jubata, sebenarnya hampir kurang relevan di kalangan
suku Dayak Kanayatn. Ketidakrelevanannya berhubungan dengan sistim religi yang
pragmatis-fungsional, karena masyarakat Dayak Kanayatn tidak terlalu
mempermasalahkan apakah Jubata itu tunggal atau jamak, yang utama adalah ritus
pemujaan kepada Jubata mendatangkan berkat, perlindungan dan nasib baik bagi
komunitas suku tersebut. Pada masyarakat Dayak Kanayatn yang masih percaya
kepada Jubata tidak terdengar upaya untuk membicarakan dengan serius apakah
Jubata dikatakan tunggal atau jamak. Meskipun kalangan Kristen menolak konsep
Jubata dalam masyarakat Dayak Kanayatn sebagai sebutan Allah karena sifat jamak
yang diduga terkandung dalam keyakinan masyarakat terhadap Jubata. Mereka hanya
menolak jika Jubata disebut atau disamakan dengan berhala.
Walaupun demikian pada bagian ini penulis tetap berupaya menggali dari berbagai
sumber yang relevan dan memungkinkan untuk melakukan pengkajian terhadap
doktrin Keesaan Jubata.
Indikasi bahwa
Jubata itu Esa, didapat dari bamang dan ritual baliatn yang
menyebutkan Jubata sebagai Ne’ Nange, arti nange adalah tunggal
atau tersendiri, hanya satu-satunya, tidak ada yang lain.
Di daerah Anik-Darit sering disebut sebagai Nange Dikakng. Pada waktu
mencari data, penulis bertanya kepada beberapa panyangahatn tentang
sifat esa atau jamaknya Jubata, dalam wawancara pribadi, dengan sangat yakin
para panyangahatn tersebut, menyatakan bahwa Jubata yang mereka sebutkan
dalam bamang memang banyak (jamak) sesuai dengan jumlah bukit yang
diyakini oleh masyarakat Dayak Kanayatn merupakan tempat kehadiran Jubata. Tetapi ketika penulis bertanya lebih jauh, mengenai
perbedaan antara Jubata yang satu dengan yang lainnya para Panyangahatn
tersebut tidak dapat menjelaskan. Dan kemudian ketika penulis mengajukan
pertanyaan yang sifatnya menegaskan dan menggiring mereka pada pemahaman
mengenai hakekat Jubata yang sesungguhnya. Para panyangahatn tersebut
tiba pada kesimpulan bahwa Jubata itu sebenarnya satu, namun dapat dijumpai di
berbagai tempat. Keyakinan menjawab bahwa Jubata itu jamak kemungkinan
merupakan jawaban yang paling murni dalam pikiran para panyanghatn
ketika mereka menyampaikan bamang. Tetapi penulis sadar bahwa tidak
mungkin hanya bersandar pada pendapat para panyangahatn tersebut mengenai
hakekat Jubata terutama yang berhubungan natur esensial yaitu keesaan dan
kejamakan Jubata.
Penelitian
terdahulu yang dilakukan oleh Hermanus, dengan menyebarkan angket kepada
responden masyarakat Dayak Kanayatn, menunjukkan bahwa sembilan puluh koma nol
tujuh persen responden menjawab bahwa Jubata adalah esa.
Sedangkan penelitian yang diadakan penulis memperlihatkan fenomena yang lain,
sebagian besar jemaat Kristen, menjawab bahwa jubata itu jamak. Sedangkan umat
Khatolik mayoritas menjawab pertanyaan yang sama dengan jawaban Jubata itu esa.
Jawaban masyarakat Dayak Kanayatn yang beragama Kristen dan Khatolik di wilayah
Anik Dingir dan Darit ini tentu bukan upaya untuk menentukan poling, bahwa siapa
yang paling bersar jumlah prosentasenya merupakan jawaban yang represntatif
untuk menentukan keesaan Jubata dalam Masyarakat Dayak Kanayatn. Karena keesaan
Jubata tidak ditentukan oleh pendapat masyarakat, sebab jika demikian, maka
suatu yang ilahi statusnya ditentukan oleh poling manusia. Hal tersebut tentu
berimplikasi pada yang mutlak dalam diri Allah menjadi relatif, Ia menjadi
keberadaan yang bergantung pada eksistensi makhluk lainnya, dan atribut Allah
sebagai yang Absolut menjadi tidak relevan. Pemikiran yang demikian tentu tidak
ditemukan dalam masyarakat Dayak Kanayatn. Oleh karena itu keesaan Jubata
sebagaimana telah dibicarakan di atas tidak dapat ditentukan dengan hasil
wawancara terhadap para panyangahat yang dengan pola pikir spontan, atau
dengan melihat polling angket.
Menurut penulis
para Panyangahatn tersebut adalah para praktisi yang tidak memusingkan diri
dengan hal-hal rumit, mereka hanya berpikir bagaimana menyampaikan doa
masyarakat kepada Jubata, lagi pula pola penalaran mereka masih sangat
sederhana, sehingga tidak berfikir mengenai hakekat Jubata yang sesungguhnya
apakah Esa atau Jamak.
Dengan demikian
upaya membicarakan keesaan Jubata harus dilakukan pada taraf berpikir filosofis
spekulatif. Karena itu disini penulis menganjurkan menerima keesaan Jubata atas
dasar pertimbangan filosofis, bahwa Jubata itu sebagai realitas mutlak yang
bersifat rohaniah hal ini sejalan dengan kayakinan bahwa jubata itu roh
sebagaimana telah diuraikan di atas, dan karena Ia roh maka tidak dibatasi oleh
ruang dan waktu, dan dapat hadir di berbagai tempat pada saat yang sama.
Jubata yang
diyakini tinggal di beberapa tempat sebagaimana yang terdapat dalam bamang
panyangahant bukanlah suatu doktrin, melainkan suatu doa, yang memerlukan
kalrifikasi dan tafsir, agar apa yang diucapkan oleh panyangahatn benar-benar
dipahami secara tepat. Sebab sesungguhnya belum ada sistematisasi ajaran
tentang Jubata dalam kepercayaan masyarakat Dayak Kanayatn, yang ada hanya
tafsir terhadap bamang para panyangahatn. Karena itu penulis
meyakini bahwa Jubata yang dipuja dan disembah masyarakat Dayak Kanayatn
bersifat tunggal yang menyatakan diri dalam berbagai cara kepada manusia di
berbagai tempat. Demi menegaskan pandangan penulis terhadap keesaan Jubata
penulis sependapat dengan Victor I. Tanja, yang, yang diyakini tinggal di
beberapa tempat sebagaimana yang terdapat dalam b
Dengan demikian kekeliruan dalam memahami roh mutlak, atau realitas ilahi yang
menyatakan diri dalam barbagai wujud dan sebutan (penamaan) yang kemudian
dianggap sebagai politheisme atau penyembahan berhala dapat diatasi. Gereja
tidak semestinya membuang tenaga untuk mendiskreditkan masyarakat yang
berkeyakinan lain sebagai penyembah berhala. tetapi segera menemukan simpul
yang tepat bagi pemberitaan injil.
Atribut Relatif Jubata
Upaya untuk
mengungkapkan jati diri Allah secara objektif dan sistematis telah dilakukan
oleh teolog-teolog Kristen berabad-abad lamanya. Sehingga menjadi suatu model
yang sangat membantu dalam kegiatan berteologi. Uraian berikut ini merupakan
penerapan pola tersebut dalam rangka menjelaskan atribut-atribut Jubata yang
dapat dijumpai (dinalar) oleh masyarakat Dayak Kanayatn, seperti kebaikan, dan
kekudusan Jubata.
Kebaikan Jubata
Masyarakat
Dayak kanayatn pada umumnya meyakini jubata itu adalah baik. Kebaikan Jubata
tampak dalam sifat-sifat Jubata yang disebut dalam bamang seperti, istilah
Jubata Ne’ Pangorok dan Ne’ Pangingu, (mengenai kedua istilah ini telah
dijelaskan dalam catatan kaki no. 118 dan 119). Kedua istilah tersebut secara
semantik menunjukkan sifat baik Jubata. Istilah ngorok sebenarnya
merupakan istilah yang digunakan untuk melukiskan induk ayam yang melindungi
anak-anaknya dibawah kepak sayapnya baik dari cuaca buruk atau dari serangan
musuh, dan mengajari anak-anaknya bagaimana caranya memperoleh makanan.
Sedangkan istilah ngingu sering muncul bersamaan dengan kata lainnya
seperti ngoan dan ngarere’. Jadi kata ngingu-ngoan, ngrere’,
adalah suatu rangkaian kata majemuk yang sering muncul dalam bamang dan syair-syair
dalam ritus nyangahatn dan baliatn. Kata ngingu-ngoan-ngarere’
biasanya dipakai untuk melukiskan seseorang yang menjaga, mengasuh dan
merawat anaknya sendiri atau anak orang lain dengan penuh kasih dan segenap
tanggung jawab. Kedua istilah itu dipakai untuk menunjukkan sifat-sifat Jubata,
sebagai ungkapan antropofatis, bahwa Jubata itu adalah kebaikan tertinggi dan
Jubata merupakan sumber kebaikan.
Masyarakat
Dayak Kanayatn sangat meyakini kebaikan Jubata, sehingga setiap perkara dalam
hidup mereka selalu dibawa kepada Jubata. Ungkapan
antropomorfis dan antropofatis mengenai kebaikan Jubata juga sering muncul
dalam narasi dan legenda serta cerita-cerita rakyat yang mengisahkan perhatian
Jubata terhadap ketidakadilan penderitaan manusia, beberapa setting narasi
memiliki latar hutan dan perkampungan masyarakat. Sebuah cerita yang dituturkan
oleh Bating, mengisahkan perhatian Jubata terhadap manusia yang menderita. Bahkan dalam setiap bamang, Panyangahatn mengakui dalam
doanya Jubatalah yang memberkati hasil panen, hasil ternak dan setiap usaha
mereka termasuk kesehatan fisik, serta perlindungan bagi seluruh komunitas
masyarakat. Dengan demikian jelaslah bahwa keyakinan masyarakat Dayak Kanayatn
mengenai kebaikan Jubata lebih didasarkan pada keyakinan ontologis atas
realitas mutlak (Jubata) yang memiliki personalitas. Keyakinan itu juga
didukung oleh hal-hal praktis yang mereka alami dan terima sebagai berkat dari
Jubata.
Kekudusan Jubata
Ajaran yang
sistematis dan terdokumentasi menegenai aspek kekudusan Jubata tidak didapati
dalam kepercayaan masyarakat Dayak Kanayatn. Aspek kekudusan Jubata juga jarang
disebutkan dalah syair-syair dan dalam bamang sebagaimana yang terdapat dalam
kitab-kitab suci suatu agama. Tetapi sikap hormat terhadap Jubata sebagai “yang
kudus” dapat dijumpai dalam sikap masyarakat Dayak Kanayatn dalam memelihara
tradisi dan memelihara tempat-tempat “keramat” (kudus), tempat dimana manusia
berjumpa dengan “yang lain” (realitas mutlak) Jubata. Tempat semacam itu tidak
boleh dikotori dengan perbuatan tercela. Jika melewati tempat tersebut biasanya
masyarakat basampakang (berbicara kepada sesuatu yang tidak tampak oleh mata
jasmani) yang diyakini ada ditempat itu, sebagai sikap hormat dan sekaligus
takut.
Ketika
mewawancari beberapa orang panyangahatn di dusun Anik Tembawang, desa Anik
Dingir, peneliti mengamati sikap hormat tersebut ketika peneliti dan
panyangahtn memperbincangankan Jubata. Panyanghatn berhenti sejenak dan
mengucapkan kalimat berikut ini: “minta maap, minta ampon boh ka’ kita Urakng
Tuha (jubata) kami ngomongi kita, jukut kamuda batanya”. (kami mohon maaf,
mohon ampun kepada Engkau oh orang tua (Jubata), kami membicarakan engkau,
karena ada anak muda yang bertanya) ungkapan tersebut merupakan sikap penuh
hormat kepada Jubata sebab biasanya untuk menghampiri atau bicara tentang
Jubata harus selalu diikuti oleh ritus-ritus. Janggal bagi mereka untuk
membicarakan Jubata tanpa adanya ritus yang menyertainya.
Salah satu
cerita menarik dari seorang panyangahatn tentang kesalahan dalam suatu ritus
yang dilakukan secara serampangan, yang mengakibatkan bencana pada tempat
pemujaan yang biasanya mereka pakai untuk melaksanakan ritual agama. Kesalahan dalam melaksanakan rital agama menurut
keyakinan masyarakat Dayak Kanayatn dapat berakibat fatal, bahkan sampai
berakibat pada kematian bagi manusia. Peristiwa-peristiwa tertentu biasanya
berupa bencana yang berhubungan dengan pelanggaran ritual, dipandang sebagai
pelanggaran terhadap kekudusan dan tempat kudus Jubata.
Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa masyarakat Dayak Kanayatn sesungguhnya mengenal konsep
kekudusan pada suatu yang ilahi (Jubata). Tetapi karena terbatasnya penalaran
atau pemahaman serta keterbatasan semantik, sering kali sikap takut, hormat dan
kagum kepada Jubata ditafsirkan sebagai ketakutan yang tidak benar, seperti
takut kepada hantu.
Uraian mengenai
kepercayaan kepada Jubata dalam Masyarakat Dayak Kanayatn sebagaimana yang
telah diuraikan di atas menunjukkan bahwa kepercayaan tersebut memiliki dasar
filosofis dan berdampak secara praktis dalam kehidupan real masyarakat
sehari-hari, jika dikaji secara mendalam terlihat bahwa kepercayaan tersebut
bersifat operatif; pragmatis dan fungsional, maksudnya bahwa kepercayaan
tersebut selain memiliki dasar ontologis-metafisis tetapi juga memiliki manfaat
praktis untuk menghadapi ketegangan-ketegangan yang berlangsung selama hidup.
Jadi rahasia bertahannya kepercayaan kepada Jubata adalah karena, kepercayaan
tersebut bersifat operatif dalam kehidupan masyarakat.
Alam dan Kosmologi Dayak Kanayatn
Keadaan geografis, seperti luasnya
daerah, hutan yang lebat, sungai lembah dan gunung-gunung merupakan salah satu
faktor penyebab lahirnya pemikiran mistis religi manusia Dayak tentang realitas
mutlak. Konsep mengenai realitas mutlak dapat ditelusuri dengan mengamati
sejauh mana kosmos atau alam itu menguasai hidup manusia. Pengalaman mengenai
dahsyatnya alam membuat manusia terperangah. Di satu pihak alam itu memberi
keuntungan. Di lain pihak alam itu mengundang bahaya, seperti banjir, angin
topan dan sebaginya. Kondisi alamiah Kalimantan yang penuh misteri, yang
kemudian melahirkan pertanyaan-pertanyaan fundamental seperti: siapkah penguasa
alam ini? Siapa yang mengatur bulan dan bintang, mata hari, hujan, siang, dan
malam? Kondisi yang demikian telah melahirkan konsep tentang realitas mutlak,
yakni sesuatu yang harus ada, sebagai mana ia ada menyatakan dirinya. Dan bagi
suku Dayak Kanayatn yang penting ialah bahwa ada kekuatan yang bersifat
supranatural sudah cukup.
Suku
Dayak Kanayatn, salah satu sub suku Dayak di Kalimantan Barat menyebut realitas
mutlak tersebut sebagai Jubata. Ia adalah pencipta dari segala yang ada. Dan
kepadanya segala yang ada tersebut bergantung. Jubata adalah ada dan
keberadaannya adalah mutlak. Ia ada dan terus ada. Menurut alam pikiran Dayak
Kanayatn, Jubata ada dalam setiap ciptaannya. Tidak ada maksud jahat yang
dihubung-hubungkan dengan Jubata. Karena Jubata selalu berada di pihak
kebaikan, dan bila kejahatan yang ditimpakannya kepada manusia itu hanyalah
sarana atau peringatan Jubata bahwa manusia harus berbuat baik.
Selain
Jubata yang adalah realitas mutlak ada juga makhluk-makhluk rohaniah, yang
dianggap orang Dayak Kanayatn mempunyai hubungan dengan kosmos ini.
Makhluk-makhluk rohaniah diakui berada dalam kosmos dinyatakan melalui
cerita-cerita lisan orang Dayak Kanayatn atau mite-mite yang ada salah satu
seperti cerita Ne’ Baruang Kulub. Cerita atau mite-mite ini sangat berhubungan
dengan pandangan hidup suku Dayak Kanayatn atau dipengaruhi oleh pemahaman
tentang kosmos yang dihuni oleh makhluk-makhluk rohani. Dari cerita lisan atau
mite suku Dayak Kanayatn diatas penulis mengambil satu cerita untuk memaparkan
mengenai adanya mahluk-mahluk rohani yang menghuni kosmos ini.
Dalam
cerita lisan atau mite suku Dayak Kanayatn yang berjudul Ne’ Baruang Kulub,
penulis menemukan ada penguraian yang secara khusus memaparkan bawa kosmos ini
dihuni oleh makhluk-makhluk rohani. Melalui keturunan Ne’ Baruang Kulub suku
Dayak Kanayatn meyakini bahwa setiap tempat atau di alam nyata didalam kosmos
ini ada yang menghuninya makhluk-makhluk rohani. Keturunan Ne’ Baruang Kulub
itu adalah sebagai berikut:
I. Ne’ Baruang Kulub kawin dengan Ne’
Si Putih Panara Subayatn, yang adalah hantu. Anak-anaknya, yaitu: Burung dan
Bintang Rasi yang bernama : Keto Laki, Keto Bini, Keto Maniamas, Keto Tungal,
Keto Bakar, Buria, Cece, Kohor, Popo Buragah, So’oh, Adatn, Kutuk, Bilang,
Macet, Parere, Pararah, Kijakng, Owanyi, Ujatn Darang, Binalu, Duya, dan
Punggana Punggani.
II. Ne’ Baruang Kulub kawin dengan Ne’
Petor Batu Buntar Muha, anaknya yaitu semua cacat, yang beri nama : Sarinteke
yang berdiam di tangga rumah, Antu Rege yang tinggal di dapur, Salat Kena’
Sansa, yang berdiam di Jalan, Sima yang berdiam di kuburan nabi, Opos yang
tinggal di simpang kuburan, Lagi yang berdiam di tanah berbukit yang kemudian
menjadi Kamang, yaitu orang yang berani dipanggil apabila ada kerusuhan besar.
Penjelasan diatas menunjukan bahwa
suku Dayak Kanayatn sangatlah dipengaruhi oleh mite-mite ini. Setiap aspek
kehidupan suku Dayak Kanayatn dihubung-hubungkan dengan adanya pengaruh dari
makhluk-makhluk rohani yang suku Dayak Kanayatn yakini berasal dari keturunan
Ne’ Baruang Kulub yang penulis uraikan diatas. Anak-anak Ne’ Baruang Kulub inilah
yang menempati setiap tempat yang ada didalam kosmos ini.
Jadi penulis menyatakan bahwa suku
Dayak Kanayatn sampai saat ini masih mempercayai adanya makhluk-makhluk rohani
di alam semesta atau kosmos yang ditempati suku Dayak Kanayatn sekarang.
Suku Dayak Kanayatn adalah suku yang
selalu berhubungan dengan kosmos atau alam semesta.
Mereka hidup di tengah-tengah alam yang maha luas dan ganas. Oleh karena itu,
untuk eksistensi diri, mereka selalu melakukan percobaan. Hasil
percobaan-percobaan yang dianggap praktek terbaik akan diikuti untuk warisan
anak-cucu. Praktek terbaik inilah yang kini dikenal sebagai adat. Adat diyakini
sebagai solusi menciptakan keseimbangan kehidupan, antar sesama manusia, antara
mereka dengan alam sekitar dan antara mereka dengan sang penguasa alam semesta.
Melanggar adat berarti mengancam kehidupan.
Dalam kehidupan Dayak Kanayatn sudah
sejak lama meyakini bahwa kosmos diciptakan dari ada yang mutlak, yaitu Jubata. Jubata-lah yang menciptakan dunia dan
segala isinya. Untuk mengungkapkan apa yang disebut “Jubata” , agar dapat
dimengerti dan dipahami secara jelas bukanlah sederhana dan perlu waktu yang
cukup banyak, karena tidak dapat dipisahkan dan sangat erat sekali kaitannya
dengan adat, mithe-mithe tentang kejadian alam semesta dan manusia dan
mithe-mithe lainya yang memperlihatkan keterkaitan-keterkaitan antara manusia
dengan makhluk-makhluk lain serta alam lingkungan sekitarnya.
Secara ringkas, suku Dayak Kanayatn
yakin bahwa ada dua ruang lingkup alam kehidupan, yaitu kehidupan alam nyata
dan kehidupan alam maya.
Yang berada di alam kehidupan nyata
ialah makhluk hidup, tumbuh-tumbuhan, hewan
dan manusia. Sedangkan yang berada di alam kehidupan maya antara lain: Ibalis,
bunyi’an (mahluk halus), antu (hantu), sumangat urang mati(semangat orang
mati), dan Jubata. Kedua alam kehidupan ini dapat saling pengaruh-mempengaruhi
satu dengan yang lainnya. Kekuatan supranatural yang dimiliki oleh seseorang
adalah salah satu contoh dari akibat tersebut di atas. Untuk menjaga
keseimbangan antara kehidupan alam nyata dan kehidupan alam maya, serta untuk
menata seluruh aspek kehidupan warganya, hubungan timbal-balik sesama warganya,
hubungan warganya dengan alam lingkungannya, serta penciptanya/ Jubata agar
tetap serasi dan harmonis, nenek moyang para leluhur mereka telah menyusun
secara arif dan bijaksana ketentuan-ketentuan, aturan-aturan yang harus ditaati
dan dijadikan pengangan hidup bagi seluruh warganya dan warga keturunannya dari
generasi ke generasi sampai kini, yang terangkum dalam apa yang disebut adat.
Suku Dayak Kanayatn yang hidup
berpencar-pencar di desa mereka masing-masing secara umum dikategorikan dalam
masyarakat hortikultural. Sebuah masyarakat yang menanam tanaman pangan guna
memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga dalam jangka waktu satu tahun. Bentuk
subsistensi yang demikian itu bukan untuk mengkasilkan produk yang surplus
(pasar oriented), namun hanya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga saja. Suku
Dayak Kanayatn dalam menjalani rutinitas kehidupannya tidak lepas dari praktek
religius tradisionalnya yang diwarisi oleh para leluhurnya, terutama dalam
interaksinya dengan alam lingkungan hidupnya.
Mereka percaya bahwa dalam usaha
mendapatkan rejeki, kesehatan dan keselamatan dalam kehidupan ini tidak hanya
bertumpu pada usaha kerja keras saja, tetapi juga pada harapan adanya campur
tangan dari “apa” yang mereka yakini. Dengan kata lain, religi tradisionalnya
mengajarkan bahwa segala sesuatu yang mereka dapatkan dalam kehidupan mereka
baik dan jahat selalu ada campur tangan dari unsur-unsur lain di luar manusia.
Kosmos atau alam semesta selaku
ciptaan menurut suku Dayak Kanayatn memiliki jiwa sang pencipta. Maka
ciptaan-ciptaan yang ada seperti air, padi, pohon, dan sungai memiliki roh
Jubata. Ini tersirat dalam syair-syair religi seperti terungkap dalam doa naik
dango (ucapan syukur panen padi) atau pada saat panyangahatn/ imam (bamang/doa)
yang ada, dimana disebutkan Jubata kayu aya’ (Jubata kayu besar), Jubata ai’
(Jubata air), dan Jubata menguasai segala tempat.
Struktur
rohani dan konfrontasi kosmos suku Dayak Kanayatn
bersumber pada dan berdasarkan pada latarbelakang kesadaran yang didasarkan
pada persaan (intuitf), tentang kesatuan dan kemutlakan tata tertib hidup dalam
kosmos atau alam. Manusia dan alam merupakan suatu kesatuan
yang sangat erat dalam menciptakan suatu keserasiaan yang indah, kesatuan dan
keserasiaan dari kehidupan, pekerjaan rohani dan perlakuan sosial, diatur dan
ditentukan oleh hubungan dengan kosmos atau alam. Keserasiaan kosmos
mengakibatkan suku Dayak Kanayatn merasa dirinya sebagai suatu pokok (subjek)
di antara sekian banyak pokok lain.
Dunia
ini dilihat dalam pengertian penuh dengan daya gaib atau kekuasaan yang tidak
tampak. Dengan istilah yang bisa dapat dikatakan bahwa mereka hidup dalam suasana
magis di mana alam dipandang sebagi suatu area oprasi dari kuasa-kuasa ini
sangat besar. Supaya daya-daya gaib itu jangan mengakibatkan hal-hal yang tidak
baik baginya atau keluarganya, maka keserasiaan kosmis harus dipertahankan dan
dipelihara dengan segala macam upacara adat. Di balik itu pula, akibat
ketakutan-ketakutan itu timbulah usaha untuk memiliki atau menguasai daya-daya
gaib itu, pemilikan atau penguasaan dan penggunaan daya-daya ini dilakukan
dengan berbagai formula, kata atau lakon tertentu yang dikenal dengan
perbuatan-perbuatan magis. Ketakutan serupa tadi mempunyai tempat yang khusus
pula bagi ilah tertinggi, yang dipandang sebagi pencipta dari sesuatu yang ada
di dunia ini. Hampir semua suku Dayak Kanayatn mengenal ilah pencipta ini, walaupun
nama-namanya berbeda-beda.
Pikiran-pikiran
dasar yang terdapat dalam suku Dayak Kanayatn mengenai kosmologi ini sendirinya
diproyeksikan dalam bentuk-bentuk kehidupan dan perbuatan-perbuatan sosial,
seperti pesembahan-persembahan, upacara-upacara kematian, perbuatan-perbuatan
gaib dan sebagainya. Bahkan dapat dikatakan bahwa
hampir seluruh tindakan praktik kehidupan semuanya dipengaruhi oleh pandangan
hidup atau kosmologi yang ada. Demikianlah, maka hal-hal tersebut dicerminkan
dalam hukum adat suku Dayak Kanayatn dan tentunya juga dalam bentuk-bnetuk
budaya dan keseniannya.
Adat yang
mencakup pengertian religi (world-view), norma, dan etika yang selanjutnya
diperjelas oleh mitos merupakan pandangan hidup (way of life) bagi masyarakat
holtikultural Dayak Kanayatn dalam kehidupannya. Adat bersama mitosnya
mempengaruhi dan membentuk sikap serta perilaku individu maupun komunitas
terhadap alam dalam sistem kehidupan ini.
Berdasarkan pandangan dunianya,
masyarakat Dayak Kanayatn memahami manusia itu sebagai bagian dari alam dalam
suatu bentuk sistem kehidupan. Bentuk sistem kehidupan ini merupakan lingkungan
hidup bersama dari unsur manusia dan unsur-unsur lain yang non-manusia
(organisme dan non-organisme). Kesemua unsur dalam sistem itu memiliki nilai
dan fungsinya masing-masing.
Pandangan kosmologi tersebut telah
berdampak pada pemahaman mereka terhadap hubungan manusia dengan alam yang
bersifat antropokosmik, yang berarti manusia dan alam menyatu, tidak
terpisahkan, hal ini berimplikasi terhadap korelasi dari unsur-unsur dalam
sistem kehidupan itu di mana manusia sebagai salah satu unsurnya tidak pernah
memanifestasikan diri mereka sebagai raja penguasa atas alam.
Pandangan kosmologi yang demikian
itu melahirkan suatu etika lingkungan hidup yang tercakup dalam adat sehingga
membuat masyarakat Dayak Kanayatn mempunyai sikap menghargai, menghormati dan
bersahabat terhadap alam.
. Sujarni
Alloy, Albertus, Chatarina Pancer Istiyani,…14. Ada beberapa pakar yang
berpendapat bahwa tanah asal usul ditentukan dengan melihat tingkat
keanekaragaman bahasa yang ada di wilayah tersebut. Nothofer dalam Sari 14
(1996:34) berhipotesis bahwa tanah asal usul suatu keluarga bahasa terletak di
daerah yang isoleknya paling beragam. Dasar hipotesis ini ialah bahwa
makin lama suatu daerah didiami oleh penutur isolek-isolek yang berasal dari
suatu bahasa purba, makin tinggi tingkat keanekaragaman isoleknya. Sebaliknya
kalau penutur suatu isolek yang timbul beberapa abad ssudah terpisahnya suatu
bahasa purba yang meninggalkan tanah asal usulnya untuk mendiami daerah yang
baru, maka waktu untuk timbulnya isolek yang beraneka ragam di tempat yang baru
itu sangat kurang. Artinya biasanya isolek yang dipergunakan di luar tanah asal
usul suatu bahasa bahasa purba bersifat lebih seragam dari pada isolek yang
digunakan di daerah asal usul atau berdekatan dengan daerah itu. walaupun
Nothofer lebih menekankan kepada daerah asal usul keluarga bahasa, tetapi hal
ini menggambarkan tanah asal usul penutur (manusia) yang mewarisi, membawa dan
menyebarkan bahasa tersebut. Jadi untuk menetukan tanah asal usul dapat
ditetapkan dengan menggunakan konsep tingkat keragaman yang tinggi (highest
order of diversity).
. J.U Lontaan, Sejarah Hukum Adat
dan Adat Istiadat Kalimantan Barat Edisi I. (Pontianak: Pemda Tingkat I
Kal-Bar,1975),48
. Panyangahatn adalah imam menurut
versi orang Dayak Kanayatn, merekalah yang dipercayakan untuk menyampaikan
bamang (doa) masyarakat Dayak Kanayatn.kepada Jubata. Adapun keempat
Panyangahatn tersebut, disapa dengan Pa’Kanden, Pa’ Unyin, Pa’ Mujin, dan Pa’
Iter. Rata-rata berumur lebih dari 60 tahun.
. Herculanus Bahari S, Makana Pantak
dalam Binua Dayak Kanayatn. Dalam Nico Andasputra…, 34. Bahari Sinju
menjelaskan bahwa masyarakat Dayak percaya bahwa hantu (roh jahat) selalu
mengganggu manusia, baik secara fisik maupun secara rohani. Sedangkan pama (roh
suci dari nenek moyang) selalu melindungi, menjaga dan memelihara keturunannya,
yang masih hidup atas kehendak Jubata Ne’ Patampa’. Konsep ini memang dekat
dengan orang-orang kudus (suci) dalam tradisi Khatolik. Herculanus Bahari S,
Makna Pantak dalam Binua Dayak Kanayatn.
. kulikng adalah suatu bentuk pagar
asal-asalan yang menandakan bahwa buah-buahan yang ada di dalam kulikng tidak
boleh diambil diambil kecuali pemiliknya.
. Tikal adalah tanda pada batang
pohon yang dibuat dari bambu yang dibelah kecil dipasang menyilang sebagi tanda
bahwa pohon tersebut tidak boleh dipanjat selain oleh pemiliknya.
. Wawancara pribadi dengan Saebar
Umar (55), tanggal 13 Januari 2009, di Desa Anik Dingir, Kecamatan Menyuke
. Dalam keyakinan masyarakat Dayak
Kanayatn “mimpi” adalah sarana yang sering kali dipakai oleh Jubata untuk
mengkomunikasikan maksudnya kepada manusia.
. Seorang informan dari Senakin,
pada saat Penulis dan Tim penerjemah Alkitab untuk bahasa Banana’-Ahe melakukan
UNS ceking ke masyarakat untuk kitab Yunus, beliau menyanggah terjemahan
“kepada jubata nang buke’ Jubata artinya kepada allah yang bukan Allah” (ftase
itu untuk menggantikan istilah berhala) bagi beliau Jubata hanya satu. Jadi
beliau mengusulkan frase lain yaitu “jukut nang jaji pangaco pangeba talino”.
Mungkin sekali informan ini, telah dipengaruh oleh doktrin Kristen tentang
keesaan Allah.
. Masyarakat Dayak Kanayatn percaya
Jubata hadir pada tempat-tempat tinggi tertentu di gunung atau bukit, kriteria
untuk menentukan bahwa tempat tersebut adalah tempat kehadiran Jubata biasanya
didapat melalui mimpi, dan mungkin sekali beberapa kisah misteri yang
menggetarkan hati, yang diinterpretasikan sebagai perjumpaan dengan Jubata.
. Victor Immanuel Tanja, Hidup Itu
Indah, (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 1986),…65. Dalam kepercayaan-kepercayaan
suku yang beranekaragam di bumi persada kita ini kesemua pemeluknya memiliki
kesadaran, kepercayaan dan praktek-praktek ibadah terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Perlu diingat bahwa apa yang dinamakan polytheisme (menyembah Allah yang
banyak) sebenarnya tidak ada karena pengertian tersebut berakar pada salah
faham tentang zat ilahi yang satu yang menampakkan wujudnya dalam berbagai
bentuk.
. Keyakinan tersebut ini mumcul
dalam bamang (doa) dikatakan “Kami bapinta ka’ Kita Jubata Ne’ Pangingu, supaya
nono’i’ kami, bare kami parise gunapm. Nang tojekng dikita pampi’i’, nang tajam
dikita’ tumpuli” (kami mohon kepada-Mu oh Jubata, agar engkau memayungi
kami,berilah kami perisai sebagi pelindung, yang runcing engkau dibuat menjadi
lembut (terumpul karena beradu dengan benda yang lebih keras) dan yang tajam
engkau jadikan tumpul. (bandingkan dengan Evigo,…31
. Ada sebuah keluarga yang sedang
mengalami kesusahan, karena salah satu anggota keluarga yang menopang kehidupan
mereka terbaring tak berdaya, karena sakit yang tidak kunjung sembuh. Semakin
lama keadaannya semakin payah. Segala upaya telah dilakukan agar sanak mereka
yang sakit ini dapat sembuh. Ternyata penyakit yang diderita bukan penyakit
biasa, penyakit tersebut hanya bisa sembuh dengan memakan ramuan tertentu, yang
susah dicari atau dalam arti sangat langka. Singkat cerita diutuslah salah
seorang anggota keluarga untuk mencari penawar sakit tersebut. setelah melewati
hutan, gunung, dan lembah. Sang utusan merasa lelah, namun apa yang dicari
belum dijumpai. Merasa kelelahan sang utusan singah di suatu tempat yang teduh
dihutan belantara. Dari kejauhan sayup-sayup terdengar suara ayam berkokok,
sang utusan berpikir mungin dekat dengan tempat ia beristrahat terdapat
perkampungan masyarakat.
Perlahan-lahan ia mulai menyusuri
jalan menuju ke arah suara ayam yang tadi berkokok. Akhirnya tibalah ia di satu
reme (sebuah tempat bekas ladang). Di sana ia menemukan sebuah pondok ladang,
dan ada seorang nenek tua, yang menyapa dan mempersilakakan ia beristirahat,
sang utusan lalu beristrahat dan menceriterakan keperluannya untuk mencari
penawar bagi kerabatnya yang sedang sakit. Ia bertanya kepada si nenek tua,
apakah si nenek tau dimana ia harus mencari, penawar tersebut. si nenek berkata
kamu istirahat aja dulu supaya tenaga mu pulih, apa yang kamu cari itu ada di
sini nanti diambilkan untukmu. Keesokan harinya si nenek mengambilkan dan
menyerahkan penawar yang dimaksud kepada sang utusan, kemudian sang utusan
mohon diri untuk kembali.
Setelah tiba di rumah, penawar
penyakit itu diberikan kepada si sakit, maka secara berangsur-angsur
kesehatannyapun pulih. Sebagai rasa syukur mereka ingin mengucapkan terima
kasih kepada nenek tua yang telah memberikan penawar bagi kesembuhan si sakit.
Tetapi ketika mereka menyusuri jalan, dan mencari-cari tempat di mana, si nenek
tua tinggal. Tempat tersebut sudah tidak diketemukan lagi. Mereka akhirnya
berkseimpulan bahwa nenek tua yang memberikan penawar tersebut adalah
penjelmaan Jubata.
. Pak Unyin (panyangahatn),
menuturkan “ketika masyarakat Anik mengadakan ritual naik ka kadiaman (pergi ke
tempat pemujaan) tempat tersebut disebut Pabayo, mereka membawa babi untuk
persembahkan dalam ritual tersebut. beberapa waktu berselang setelah upacara
tersebut, pohon-pohon besar disekitar area tempat upacara adat tersebut
dihantam petir. Kemudian ada yang bermimpi bahwa peristiwa itu terjadi karena
mereka membawa babi belang, dan Jubata tidak mau lagi ditemui di tempat itu, ia
dikatakan pindah di satu bukit lain yang disebut Kalawit. Di sanalah saat ini
tempat untuk mengadakan ritual.
Niko Andasputra, Kalimantan Review,
No. 01Th 1 Januari-Juli 1992 s/d No 09 Th 03 Oktober-Desember 1992. Manusia
Dayak: Manifestasi perilaku dan Perbuatannya (Pontianak: Lembaga dan Penunjang
Pembangunan Sosial-Instute of Dayakology Research and Development, 1992), hlm.
1-3.
IDRD, Cerita Ne’ Baruang Kulub,
(Pontianak:Institute of Dayakology Research and Development, 1994), hlm. 12
Niko Andas Saputra, Kalimantan
Review,No 01 Th 1 Januari-Juli 1992 Dayak Kanayant dan Alam, (Pontianak:
Lembaga dan Penunjang Pembangunan Sosial-Instute of Dayakology Research and
Development, 1992), hlm, 7.
Niko Andas Saputra, Kalimantan
Review,No 01 Th 1 Januari-Juli 1992 Dayak Kanayant dan Alam, (Pontianak:
Lembaga dan Penunjang Pembangunan Sosial-Instute of Dayakology Research and
Development, 1992), hlm. 19.
Vincentius Julipin, Kalimantan
Review, No. 05Th 1 Septe1mber-Desember1993. Melestarikan Alam Kalimatan
Barat(Pontianak: Lembaga dan Penunjang Pembangunan Sosial-Instute of Dayakology
Research and Development, 1993), hlm. 21.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan